Kamis, 12 Mei 2011

DIALEKTIKA SYARIAT ISLAM

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.


Tema Syariat Islam adalah perkara yang sangat penting diketahui oleh kaum Muslimin, khususnya mereka yang telah menjalankan nilai-nilai Islam dan telah sampai ilmu kepadanya. Pemahaman yang jelas dan istiqamah dalam hal ini akan membawa maslahat besar bagi kehidupan Ummat Islam di negeri ini.


Disini saya akan menulis sejumlah poin-poin penting seputar tema Syariat Islam. Termasuk di dalamnya materi-materi perdebatan yang selama ini sering diangkat. Poin-poin itu disusun sepraktis mungkin dan runut sehingga mudah dipahami. Tujuan intinya, ingin menegaskan kembali betapa pentingnya penegakan Syariat Islam dalam kehidupan masyarakat. Semoga yang sederhana ini bermanfaat bagi Ummat dan bernilai di hadapan Allah Ta’ala. Amin Allahumma amin.


[01] Apa urusannya bicara Syariat Islam di masa sekarang? Apakah kita tidak dikatakan set back ke belakang, bernostalgia dengan masa lalu?



Hakikat Syariat Islam adalah ajaran Islam itu sendiri. Bicara tentang Syariat Islam sama dengan bicara tentang agama Allah. Sebaik-baik pembicaraan adalah tentang agama-Nya. Dalam Al Qur’an: “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya, selain orang yang menyeru kepada Allah, beramal shalih, dan berkata: ‘Sesungguhnya aku ini adalah orang Muslim.’” (Fushshilat: 33). Tidak ada istilah set back untuk berbicara tentang perkara-perkara yang diridhai Allah (tentang agama-Nya). Semakin banyak kita bicara tentang agama-Nya, semakin dekat kita dengan kemuliaan. Semakin kikir kita bicara tentang agama-Nya, semakin dekat kita dengan kehinaan. Tidak mengherankan jika Allah hendak memuliakan manusia, Dia mengutus Nabi atau Rasul untuk menegakkan agama-Nya di tengah-tengah manusia. Setelah Rasulullah Saw wafat tidak ada lagi Nabi yang diturunkan, maka Allah memperbaiki kehidupan manusia dengan mendatangkan ulama-ulama Waratsatul Anbiya’ (Pewaris Nabi). Mereka mengambil peranan, melanjutkan missi Kenabian, meskipun sifatnya bukan manusia yang ma’shum dari kesalahan.


[02] Tidak semua orang menginginkan Syariat Islam. Di tengah kita ada orang-orang yang beragama selain Islam. Apakah kita akan memaksakan Syariat Islam kepada mereka? Bukankah itu suatu pemaksaan, padahal dalam Islam tidak ada paksaan?


Pada dasarnya, siapapun boleh bicara tentang Syariat Islam. Hal itu tidak terbatas bagi kaum Muslimin saja. Syariat Islam adalah agama yang diserukan secara universal kepada seluruh manusia. Dalam Al Qur’an, “Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan kepada seluruh manusia, sebagai pemberi khabar gembira dan peringatan, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Saba’: 28). Orang non Muslim boleh bicara Syariat Islam, selama niatnya baik. Pembicaraan itu akan menjadi dakwah bagi mereka. Namun mereka tidak dipaksa untuk menerima Syariat Islam, sebab mereka adalah non Muslim. Kecuali dalam suatu negara yang telah ditegakkan Sistem Islam, mereka harus mematuhi Syariat Islam dalam batas-batas tertentu (khususnya terkait hukum-hukum sosial). Tetapi bagi orang Muslim, wajib hukumnya membicarakan Syariat Islam, baik sedikit atau banyak. Bahkan kita akan merugi kalau tidak membicarakan tentang Syariat Islam. Dalilnya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang beriman, yang beramal shalih, dan saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.” (Al ‘Ashr). Amanah Syariat Islam secara khusus ditujukan kepada orang-orang Muslim. Namun kalau kalangan di luar Islam tertarik mempelajari Syariat Islam dengan hati yang tulus, ya alhamdulillah.


[03] Bukankah kita di Indonesia sudah sepakat, bahwa Pancasila dan UUD 1945 adalah final? Tidak ada konsep hukum lain, selain itu.


Siapa mengatakan Pancasila dan UUD 1945 sudah final? Adakah orang-orang beriman yang mengklaim seperti itu? Tidak ada yang FINAL dalam kehidupan ini, selain WAHYU Allah. Hanya Wahyu Allah dan sabda Rasulullah yang bersifat final dan mutlak. Selain keduanya, bersifat optional (pilihan). Hingga para filosof sering mengatakan, “Tidak ada kebenaran mutlak dalam ilmu pengetahuan, selain kebenaran Wahyu.” Kalau Pancasila dan UUD 1945 dianggap final, berarti kita telah menempatkannya seperti Wahyu Allah. Keyakinan seperti itu justru sangat kontradiksi dengan Pancasila sendiri. Pada Sila pertama dikatakan: “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kalau bangsa kita mengaku bertuhan, pasti tidak akan mengatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 yang dirumuskan oleh manusia itu sebagai kebenaran mutlak yang bersifat final. Tidak ada yang final dalam kehidupan ini, selain Kitabullah dan As Sunnah. Mengatakan Pancasila dan UUD 1945 bersifat final, sementara Al Qur’an dan As Sunnah dianggap relatif, berarti kita telah menjadikan Pancasila dan UUD 1945 lebih tinggi dari Al Qur’an dan As Sunnah. Ini adalah kesesatan besar yang bisa membatalkan keimanan manusia.


[04] Kalau kita memaksakan penegakan Syariat Islam, maka akibatnya NKRI akan terpecah-belah. Wilayah Indonesia Timur akan memerdekakan diri. Alasan itu pula yang dulu membuat Hatta menolak Piagam Djakarta. Daripada NKRI terpecah-belah, lebih baik kita jangan memaksakan berlakunya Syariat Islam di bumi Indonesia.


Disini ada KESALAH-PAHAMAN besar yang sejak dulu telah mengacaukan akal-akal manusia. Kesalah-pahaman itu terus dilestarikan, diperindah, dihias-hias, diberi dalil-dalil, dipatenkan, bahkan dimuseumkan. Lho, sisi mana kesalah-pahamannya? Jelas sekali masalahnya. Allah tidak pernah memaksakan bangsa ini agar menjadi bangsa ini dan itu. Kita mau menjadi bangsa apapun, silakan saja. Mau menjadi bangsa tempe, bangsa jengkol, bangsa batu, bangsa berlian, atau bangsa apapun, itu terserah kita. Jangan “GR” dengan menyangka bahwa Allah membutuhkan bangsa ini. Tidak sama sekali. Allah Maha Kaya, tidak butuh apapun dari makhluk-Nya. Allah tidak pernah memaksa bangsa Indonesia menjadi Negara Islam. Allah hanya mengingatkan dalam Al Qur’an, kalau kita mau beriman dan bertakwa kepada-Nya, kita akan dicurahi barakah-barakah dari langit dan bumi. Kalau kita mendustakan agama-Nya, kita akan mendapat siksaan (Al A’raaf: 96). Dia juga mengingatkan, kalau kita bersyukur, akan ditambah nikmat-Nya. Kalau kita kufur nikmat, pasti akan terkena siksa-Nya yang pedih (Ibrahim: 7). Jadi, bangsa Indonesia mau jadi bangsa apapun, silakan saja. Tetapi kalau kita ingin hidup berkah, dimudahkan oleh Allah, dicurahi pertolongan dan kemuliaan, dibela atas musuh-musuh, maka tegakkan agama-Nya dalam kehidupan kita. Sekuat-kuatnya bangsa ini ingin menjaga NKRI, kalau hati-hati rakyat Indonesia jauh dari iman dan takwa, lambat atau cepat NKRI itu pasti akan tercerai-berai. Ingatlah saudaraku, tidak ada yang lebih kuat untuk menyatukan suatu bangsa, selain iman dan takwa. Begitu pula, tidak ada faktor yang paling berbahaya bagi hancurnya suatu bangsa, selain merosotnya iman dan takwa. Seharusnya, kalau kita komitmen dengan NKRI, kita harus komitmen dengan Syariat Islam. Segala masalah yang ditakutkan bangsa ini, misalnya ancaman disintegrasi, itu semua ada solusinya dalam Islam.


[05] Sebagian orang begitu meyakini kehebatan Syariat Islam. Apa sih manfaat fundamental dari penegakan Syariat Islam?


Pertama, menegakkan Syariat Islam sama dengan menghidupkan Wahyu Allah di muka bumi. Hal ini jika dilakukan dengan baik dan konsisten, akan mendatangkan Keridhaan Allah. Jika Allah ridha, maka Dia akan mencurahkan berbagai anugerah besar dalam kehidupan kita, dan sekaligus melindungi kehidupan itu sendiri dari segala petaka dan bencana. Dalilnya, “Dan sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa (kepada Allah), pasti akan Kami bukakan atas mereka barakah-barakah dari labgit dan bumi.” (Al A’raaf: 96). Kedua, Syariat Islam itu akan menyelesaikan sebagian besar perselisihan di antara manusia. Dalam Syariat ini tidak ada pihak-pihak yang diagungkan, selain Allah saja. Tidak ada kepentingan raja, bangsawan, pengusaha, kapitalis, politisi, jendral, ustadz, syaikh, dll. yang diistimewakan. Semuanya dicurahkan untuk Allah. Hingga dalam hadits, Nabi Saw bersabda: “Seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Lihatlah, Syariat Islam tidak memberi keistimewaan kepada siapapun, bahkan kepada keluarga Nabi sekalipun. Ketiga, Syariat Islam akan melindungi orang-orang lemah dari penindasan orang-orang kuat. Sistem apapun selain Islam, pasti akan melahirkan penindasan. Itu pasti! Nah, Syariat Islam menghapuskan penindasan orang-orang kuat terhadap orang-orang lemah. Keempat, Syariat Islam lebih menjamin tercapainya keadilan. Sejak manusia mengenal sistem sekuler, sejak itu impian tercapainya keadilan hanya omong kosong belaka. Dalam Syariat Islam, jangankan seorang Muslim, orang Yahudi-Nashrani pun tidak boleh dizhalimi (Al Maa’idah: 8). Kelima, Syariat Islam adalah satu-satunya sistem/tatanan yang akan membuat manusia mencapai tujuan Fid Dunya Hasanah, Wa Fil Akhirati Hasanah (mendapat kebaikan di dunia Akhirat). Jika ada manusia yang memaksakan diri ingin mencari yang lebih hebat dari kebaikan-kebaikan di atas, pada dasarnya mereka hanya menganiaya diri sendiri.


[06] Apa jaminannya bahwa penegakan Syariat Islam akan membawa kebaikan besar? Siapa tahu, kalau dilaksanakan justu akan berakibat sebaliknya?


Kita yakin karena Allah telah menjamin hal itu (An Nuur: 55). Allah memiliki Shifat, Laa yukhliful mi’aad (tidak mengingkari janji-Nya). Sebagai seorang Muslim, kita meyakini kebenaran Kitabullah dan As Sunnah. Selain itu, secara praktik keadilan Syariat Islam sudah terbukti dalam sejarah. Sejarah keemasan Rasulullah Saw, Khulafaur Rasyidin Ra, Umar bin Abdul Aziz, Harun Al Rasyid, Andalusia, Shalahuddin Al Ayyubi, Muhammad Al Fatih, dll. telah membuktikan kebesaran Syariat Islam. Secara keyakinan dan konteks sejarah, kita telah membaca catatan-cacatan emas seputar keadilan peradaban Islam.


[07] Kalau ukurannya kesejahteraan ekonomi, toh negara-negara Barat yang sekuler, mereka bisa hidup makmur tanpa Syariat Islam?


Bangsa Barat hidup makmur setidaknya karena 3 alasan. Satu, mereka telah menindas bangsa-bangsa yang lemah, lalu mengeruk kekayaannya untuk membiayai kehidupan mereka yang mewah. Dua, mereka telah bekerja sangat keras untuk mencapai impian-impian dunianya. Kualitas kerja keras mereka mencapai level “bertaruh nyawa” dalam segala urusan. Tiga, mereka tidak memberi tempat sedikit pun bagi munculnya praktik korupsi. Di mata mereka, korupsi dianggap seperti membunuh kehidupan banyak manusia, maka sanksinya sangat berat. Kalau bangsa Barat dianggap hidupnya makmur, mereka hanya makmur dari sisi materi saja. Adapun secara kehidupan ruhani, mereka hancur-lebur. Dalam Al Qur’an: “Janganlah kalian terperdaya oleh kebebasan orang kafir bergerak di dalam negeri. Semua itu hanyalah kenikmatan kecil. Kemudian tempat tinggal mereka adalah Jahannam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (Ali Imran: 196-197). Kalau kita mau mencontoh sukses bangsa sekuler Barat tanpa peranan Syariat Islam, maka kita harus ikut-ikutan menindas bangsa lain dengan sewenang-wenang. Atau kita harus kerja keras “bertaruh nyawa” di segala urusan, atau kita memusuhi korupsi dengan permusuhan mutlak, tanpa toleransi sedikit pun. Jika tidak mampu seperti itu, ya jangan bermimpi akan hidup sejahtera, adil, dan beradab. Sedangkan Islam mengajak manusia hidup berkah, jiwanya tentram, keadilan ditegakkan tanpa pandang bulu, memiliki harga diri, merdeka dari segala penindasan manusia.


[08] Kalau menurut kami, yang paling penting dalam kehidupan ini adalah menegakkan demokrasi? Kalau demokrasi sudah tegak, otomatis masyarakat akan hidup sejahtera, adil, dan bermartabat. Jadi, kuncinya demokrasi, bukan Syariat Islam. You know?


Hampir semua orang sekuler memuja-muja demokrasi. Mereka menempatkan demokrasi lebih tinggi dari agama. Tidak segan mereka mengkritik ajaran Allah dan Rasulullah Saw. Tetapi saat yang sama, mereka marah kalau ada yang melecehkan prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi telah masuk ke hati mereka, mengkristal menjadi keyakinan yang membatu di dasar hati. Kalau diingatkan, mereka kerap beralasan: “Kami disini juga memperjuangkan Islam. Perjuangan Islam harus pelan-pelan, tidak bisa tergesa. Kami ini terus bergerak setahap-setahap. Nanti kalau saatnya tiba, kami akan menegakkan Islam secara kaaffah. Sementara waktu kami terpaksa ikut permainan politik yang ada dulu. Tapi hati kami 100 % bersama Syariat Islam. Tolonglah hargai usaha kami! Cobalah bertindak nyata, jangan hanya mengkritik melulu!” Mereka mengklaim memperjuangkan Islam, tetapi kondisi Ummat Islam sendiri semakin lama semakin terpuruk. Kalau kerja mereka benar, pasti Ummat ini akan merasakan dampak kerjanya. Tidak ada satu pun dalil Syar’i yang menjelaskan, bahwa demokrasi merupakan pilihan terbaik bagi manusia. Demokrasi itu merupakan konsep politik yang menghalalkan pembangkangan kepada Allah. [Kalau di blog ini saya banyak menyinggung masalah politik praktis, bukan karena ingin mendukung demokrasi. Tetapi ingin mempengaruhi opini, agar praktik demokrasi yang ada, tidak terlalu merugikan Ummat]. Di Indonesia sendiri, demokrasi semakin hidup sejak Reformasi. Nyatanya, kehidupan masyarakat semakin berantakan. Kemajuan demokrasi tidak sebanding dengan kemajuan kehidupan rakyat. Kalau mau jujur, sebenarnya demokrasi sejati itu tidak pernah ada dalam kehidupan manusia. Tidak pernah ada ‘kedaulatan di tangan rakyat’. Secara riil, kedaulatan itu tetap dimonopoli oleh elit-elit politik tertentu. Seperti di Amerika, meskipun rakyatnya menentang invasi ke Iraq, George Bush tidak pernah mau menarik pasukannya dari Iraq. Itu negara Amerika yang diklaim sebagai “Mbahnya Demokrasi”. Dapat disimpulkan, demokrasi hanyalah retorika para elit-elit politik untuk menipu rakyatnya.


[09] Kalau bukan sistem demokrasi, kita akan memakai sistem apa? Hari gini bicara soal Sistem Islam? Tidak realistik, Bung. Lagi pula dalam Islam kan tidak ada konsep negara. Buktinya, dalam Al Qur’an tidak ada istilah Daulah Islamiyyah (Negara Islam).


Kalau ada yang berpendapat bahwa demokrasi adalah satu-satunya sistem yang bisa diambil manusia, berarti dia termasuk orang bodoh. Harus dicatat, sampai detik ini masih banyak negara yang menggunakan sistem kerajaan. Bahkan masih ada yang menerapkan sistem kerajaan absolut, seperti Saudi, Brunei, Kuwait, UEA, Yordania, Maroko, dll. Malah negara-negara maju di dunia masih banyak yang memakai sistem kerajaan, seperti Inggris, Belanda, Belgia, Denmark, Spanyol, Monaco, Finlandia, Jepang, dan lain-lain. Di ASEAN sendiri Malaysia, Brunei, Thailand, Kambodja, juga menerapkan sistem kerajaan. Terbukti kehidupan rakyat mereka baik-baik saja. Negara bersistem kerajaan, rata-rata rakyatnya tidak bergejolak seperti negara penganut demokrasi. Begitu pula, negara kerajaan yang menerima UU Islam, rata-rata hidupnya baik, meskipun belum melaksanakan Sistem Islam secara penuh. Sistem Islam bisa diterapkan dalam konteks Negara Islam, kerajaan absolut, atau semi kerajaan. Hanya saja, kalau dipadukan dengan sistem demokrasi, biasanya tidak efektif. Sudan dan Pakistan pernah menerapkan UU Islam di negerinya, tetapi diganggu terus oleh orang-orang sekuler. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan Indonesia, perjuangan politik Islam selalu dirusuhi tangan-tangan zhalim kaum sekuler. Dalam dunia modern, pemerintahan yang mendekati Sistem Islam secara penuh adalah Thaliban di Afghanistan. Sayangnya, pemerintah itu hanya bertahan beberapa tahun karena dihabisi oleh invasi Amerika Cs. Amerika dan Yahudi sangat ketakutan jika masyarakat dunia akhirnya mengetahui buah keberkahan Sistem Islam dan kebatilan sistem imperialis-kapitalis. Sistem Islam tidak mengenal istilah late of date (ketinggalan jaman). Sebagai contoh, sistem perbankan non ribawi saat ini banyak dikaji di Eropa sebagai alternatif pengganti sistem bank ribawi. Begitu juga gerakan Dinar dan Dirham, sebagai upaya mengganti uang kertas, sangat berpotensi mematikan sistem ekonomi kapitalis. Islam jelas mengenal sistem negara sejak era Nabi Saw. Tidak mungkin Nabi menetapkan UU Islam, kalau tidak memiliki negara. Juga tidak mungkin Nabi dan Shahabat bersusah-payah mempertahankan Madinah dari serangan kaum musyrikin Makkah, dan mengusir orang-orang Yahudi di Madinah, kalau mereka tidak memiliki negara. Tidak mungkin juga Nabi Saw melayangkan surat ajakan dakwah kepada Najasyi, Romawi, Kisra Persia, Muqauqis, Ghassan, Raja Oman, dll. kalau beliau tidak memiliki negara. Orang-orang yang menyebut Islam tidak memiliki sistem negara, pada dasarnya mereka hanyalah para penipu yang tidak tahu malu.


[10] Andaikan Syariat Islam diterima oleh masyarakat, bagaimana cara merealisasikan Syariat Islam itu sendiri dalam sistem kenegaraan? Apakah harus menempuh cara kudeta, revolusi, atau pemberontakan militer? Bukankah cara revolusi itu sangat besar korban yang akan dipertaruhkan?


Sebenarnya, tanpa harus membentuk Sistem Islam pun, di Indonesia sudah berkali-kali terjadi revolusi. Korbannya besar, lahir-batin, materi, jiwa, dan kehidupan. Kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah revolusi, Perang 10 November di Surabaya adalah revolusi, pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan adalah konsekuensi revolusi, penumpasan pengikut PKI pasca peristiwa 30 September 1965 (versi lain, 1 Oktober 1965) adalah revolusi. Bahkan Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta juga bisa disebut revolusi. Jadi di Indonesia ini, meskipun terjadi 1000 kali tragedi pembantaian manusia, tidak dianggap penting, selama tidak berhubungan dengan isu Negara Islam. Tetapi kalau terkait isu Negara Islam, meskipun peristiwa yang terjadi hanya kumpul-kumpul anak muda untuk pengajian, maka ia akan segera dicurigai sebagai teroris. Kalau perlu, Gedung Putih akan dilapori kejadian sepele seperti itu. Disini bukan hanya tampak ketidak-adilan yang nyata, tetapi juga ada kebencian mendarah daging terhadap berlakunya Sistem Islami. [Kalau ada seseorang mengaku Muslim, tapi secara sadar sangat membenci Sistem Islam, orang seperti itu bisa MURTAD tanpa disadarinya. Meskipun dia memiliki 10 pesantren dan berhaji ke Tanah Suci setiap tahun sekali]. Dalam pandangan saya, pelaksanaan Syariat Islam di Indonesia mestilah berjalan bertahap, tidak bisa sekaligus. Sebab mayoritas masyarakat Indonesia otaknya sudah diracuni pemikiran-pemikiran anti Syariat Islam secara sitematik, selama puluhan tahun. Mungkin, mula-mula diperlukan kepemimpinan kuat yang sangat komitmen dengan moral; lalu regulasi media massa agar tidak merusak pemikiran dan selera masyarakat; lalu mendidik rakyat dengan baik, memberikan hak-hak kesejahteraan, serta menerapkan keadilan; merintis penerapan sistem Islami di berbagai bidang; hingga akhirnya rakyat secara sadar mendukung penerapan Syariat Islam. Jalan yang bisa ditempuh ialah perjuangan politik, namun bukan demokrasi. [Demokrasi adalah “mahkota” sistem sekuler. Menempuh demokrasi, ujungnya pasti akan bermuara ke dalam pelukan sekularisme kembali]. Para aktivis Islam bisa memanfaatkan cara-cara di luar demokrasi untuk mewujudkan harapan tegaknya Syariat Islam.


[11] Bagaimana dengan pandangan sebagian aparat negara (atau mantan aparat) yang mengatakan, bahwa tujuan besar kaum teroris adalah mendirikan negara Islam seperti di jaman Nabi dan Khalifah Rasyidin?


Ya, para aparat itu harus menjelaskan maksud perkataan mereka. Maksudnya, apakah mereka menuduh Nabi dan para Shahabat sebagai teroris? Harus dijelaskan dengan sejelas-jelasnya, apakah Nabi dan Shahabat itu teroris? Kalau iya, maka mereka harus menyebut masjid-masjid sebagai sarang teroris; Al Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman kaum teroris; jilbab sebagai pakaian wanita teroris; madrasah-madrasah sebagai tempat kaderisasi teroris. Dan sekalian, mereka umumkan perang kepada Islam dan kaum Muslimin. Jika demikian yang terjadi, maka akan lebih memudahkan bagi Ummat Islam untuk bersikap. Menurut Umar bin Khattab Ra, menghadapi orang kafir tulen lebih mudah daripada menghadapi orang munafik. Orang munafik penampilan sama dengan kita, tetapi hatinya kafir. Kalau setiap Muslim yang memiliki cita-cita tegaknya Syariat Islam disebut teroris, maka orang-orang sekuler yang memaksakan sistem sekuler dan anti dengan sistem lainnya, mereka jauh lebih layak disebut MASTER TERORIS.


[12] Mana yang lebih penting, akidah Islam atau Syariat Islam? Coba jawab secara tegas, tidak usah berbelit-belit!


Yang lebih penting adalah: Syariat Islam! Mengapa? Sebab Syariat Islam itu meliputi segala sisi ajaran Islam, akidah termasuk di dalamnya. Kalau bicara Syariat Islam berarti pula bicara tentang akidah; kalau bicara akidah Islam, belum tentu menyinggung ajaran-ajaran Islam lainnya. Dalam Al Qur’an disebutkan: “Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kalian tentang agama ini, sebagaimana Dia mewasiatkan hal itu kepada Nuh dan apa yang Dia wahyukan kepadamu, dan apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Ibrahim, Musa, dan Islam, yaitu: ‘Tegakkanlah agama ini dan janganlah kalian berpecah-belah di dalamnya.’” (Asy Syuraa: 13). Apa yang disebut Syariat Islam adalah agama Islam itu sendiri.


[13] Selama ini banyak orang takut dengan Syariat Islam, karena ia dianggap kejam. Disana ada hukum rajam, potong tangan, dera (pukulan), qishash, pengusiran, hukuman mati, dll. Bagaimana menjelaskannya?


Ini adalah prasangka buruk yang selalu menjadi fitnah sejak dulu. Benar adanya bahwa sanksi-sanksi yang disebutkan itu adalah Syariat Islam. Ia termasuk hukum Hudud (pidana Islam). Namun Hudud bukan satu-satunya aspek Syariat Islam. Bahkan ia salah satu aspek saja. Ajaran Islam itu sangat sempurna. Dalilnya, “Di hari ini telah Aku lengkapkan bagi kalian agama kalian, telah Aku cukupkan bagi kalian nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama kalian.” (Al Maa’idah: 3). Tidak mungkin agama yang lengkap, sempurna, dan diridhai Allah isinya hanya “daftar sanksi pidana” saja. Ini adalah fitnah syaitan yang sangat keji. Ajaran Islam meliputi berbagai urusan manusia; sejak adab masuk WC sampai pengangkatan Khalifah; dari urusan larangan ghibah sampai Jihad di medan perang; dari urusan pembagian waris sampai polemik ijtihad; dari urusan doa bersenggama sampai mensucikan jiwa, dan sebagainya. Ajaran Islam itu sangat agung, luas, dan memuaskan batin. Tidak mungkin jika semua keagungan itu dilipat, dibungkus, lalu hanya ditinggalkan sebuah “daftar sanksi pidana” saja. Semua ini adalah hasil kampanye hebat orang-orang kafir untuk menipu akal manusia, sehingga mereka menyangka bahwa Syariat Islam itu hanya berisi “darah” dan kekerasan. Bahkan kalau mau jujur, hukum Hudud itu merupakan aspek punishment (hukuman) dari ajaran Islam. Sementara aspek reward (penghargaan) dalam agama ini sangat luas. Sekedar sebagai catatan, kalau di sebuah masyarakat Islam ada satu orang miskin atau terlantar atau kelaparan. Maka pemimpin di masyarakat itu akan dimintai tanggung-jawabnya di dunia dan Akhirat. Dia akan dituntut karena melalaikan hak seorang warganya. Jangankan manusia, hewan-hewan ternak pun memiliki hak yang harus dipikul oleh pemimpin-pemimpin Islam. Sementara, dalam sistem sekuler, nasib manusia hanya dianggap seperti SAMPAH busuk.


[14] Kalau bicara tentang Islam, bicara saja tentang agama, jangan melebar ke urusan politik! Jadilah dai Islam yang jujur, jangan menjadi politisi yang berkedok dai! Jangan melakukan politisasi agama!


Orang-orang yang berpandangan seperti ini banyak, baik mereka dari kalangan liberal, sekuler, maupun santri. Mereka selalu mengkaitkan pembicaraan Syariat Islam dengan perebutan kekuasaan (politik praktis). Harus mereka catat dengan baik, peradaban apapun di dunia ini tidak akan tegak, tanpa didukung oleh kekuasaan. Begitu pula dengan ajaran Islam. Tidak pernah ada peradaban Islam, tanpa kekuasaan yang melindunginya. Sebagai perbandingan, ideologi Komunis saja ditegakkan dengan pengorbanan jutaan nyawa para pendukungnya. Nabi Saw menjadi sebaik-baik qudwah (teladan). Beliau melindungi Islam dengan membangun Sistem Islami di Madinah Munawwarah. Beliau menjadi Imam kaum Muslimin. Beliau berdarah-darah dalam mempertahankan Sistem Islam. Warisan ajaran beliau lalu dilanjutkan para Khulafaur Rasyidin Ra. dan imam-imam kaum Muslimin selanjutnya. Kalau kita bicara Syariat Islam, lalu dituduh sebagai politisi atau dituduh mempolitisasi agama, berarti para penuduh itu tidak mengerti ajaran Islam. Atau dengan kata lain, mereka hendak menuduh Rasulullah Saw dan para Shahabat Ra. sebagai politisi atau tukang mempolitisasi agama. Na’udzubillah min dzalik.


[15] Bukankah misi dakwah para Nabi dan Rasul adalah menegakkan TAUHID? Para Nabi dan Rasul bukan politisi, tidak berambisi merebut kekuasaan. Mereka tokoh agama murni, tidak ada embel-embel politiknya.


Penganut pemikiran seperti ini juga banyak, khususnya dari kalangan yang mengaku ‘alim ilmu keislaman. Di mata mereka, urusan akidah tauhid itu hanya urusan hati, tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan lain. Seseorang dianggap bertauhid kalau bebas dari menyembah kubur, tidak mendatangi dukun, tidak takut hantu, tidak melakukan sihir, tidak mempercayai ramalan, tidak melakukan tawasul dengan orang mati, dll. Memang, hal-hal ini termasuk aplikasi prinsip Tauhid, tetapi bukan satu-satunya aplikasi tauhid. Kalau mereka jujur dalam membaca sejarah para Nabi dan Rasul As, akan terlihat letak kesalahan pemikiran mereka. Sejak jaman Nabi Nuh, Hud, Shalih, Ibrahim, Luth, Syuaib, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Zakariya, Yahya, Isa, dan Nabi Muhammad Saw; mereka semua mengalami benturan dengan sistem kekuasaan di masanya. Kekuasaan itu ada kalanya berupa raja, para pembesar yang berkuasa, tradisi nenek-moyang, kepentingan bisnis, dll. Al Qur’an menyebut para penguasa yang memusuhi Nabi dan Rasul itu dengan istilah Al Mala’u, Sadat, Kubara’, Thaghut, Syayathin, dll. Mereka rata-rata orang berkuasa di masanya. Mengingkari pelaku ibadah kubur, sihir, tawasul dengan orang mati, para dukun, dll. adalah perkara yang benar. Ia termasuk nahyul munkar. Tetapi mengingkari penguasa yang membiarkan atau mendukung merajalelanya praktik kemusyrikan adalah lebih utama. Kalau mengingkari seorang penyembah kubur, mungkin dia akan sadar, tetapi penyembah kubur yang lain akan muncul. Tetapi kalau seorang penguasa turun tangan melarang praktik ibadah kubur, insya Allah banyak manusia yang bisa diselamatkan akidahnya. Kalau melihat dakwah Nabi dan Rasul As, justru mereka sangat sering berbenturan dengan kekuasaan dalam rangka menyelamatkan tauhid Ummat. Hanya masalahnya, para dai di jaman modern banyak yang tertipu oleh pemikiran-pemikiran menyimpang. Mereka benci melihat penyembah kubur, tetapi rela (bahkan memuji-muji) penguasa yang membiarkan praktik ibadah kubur merajalela.


[16] Apakah Anda meremahkan dakwah Tauhid dan tidak percaya bahwa Tauhid adalah urusan teragung dalam agama ini?


Seseorang disebut Muslim karena akidahnya Tauhid. Kalau dia tidak bertauhid, berarti keimanannya rusak, bahkan bisa amblas tanpa bekas. Dakwah Tauhid atau pembinaan Tauhid sangat mendasar. Ia seharusnya diajarkan sebelum seseorang belajar cabang-cabang ilmu Islam yang lain. Al Ghazali menyebut belajar Tauhid itu sebagai fardhu ‘ain. Tidak mungkin agama seorang Muslim akan tegak, tanpa dilandasi Tauhid. Dalil sederhananya, sebelum seseorang masuk Islam, dia harus bersyahadat dulu. Apa isi Syahadat? Laa ilaha illa Allah adalah jelas-jelas Syahadat Tauhid, tanpa keraguan lagi. Itulah pintu masuk menuju Islam. Hanya masalahnya, urusan Tauhid itu bukan hanya urusan keyakinan di hati saja. Ia juga meliputi urusan perlindungan terhadap segala yang membahayakan, merusak, atau melemahkan Tauhid itu sendiri. Nah, untuk melindungi Tauhid Ummat, kita harus bicara tentang kekuasaan. Tidak bisa tidak. Bisakah dengan hanya mengkaji kitab, menyebarkan buku, majalah, dan membangun madrasah, Tauhid Ummat bisa dijaga? Mungkin bisa sebagiannya, tetapi tidak secara menyeluruh. Hanya kekuasaan yang bisa melindungi Tauhid Ummat dengan sempurna. Ibnu Taimiyyah menyebutkan, tiga pilar perlindungan Ummat, yaitu: Jihad, harta, dan sultan! Seorang Muslim sejati tidak mungkin meremehkan Tauhid. Namun Tauhid itu jangan hanya sebatas soal “ibadah kubur, dukun, dan sihir” saja. Menolong kaum Muslimin dengan memberi pekerjaan kepada mereka, sehingga mereka tidak menggadaikan iman karena alasan ekonomi, itu juga aplikasi Tauhid. Banyak contoh lainnya.


[17] Coba jawab secara tegas, apa hukumnya menegakkan Syariat Islam dalam kehidupan suatu bangsa?


Bagi semua bangsa di dunia pilihannya hanya dua: Pertama, kalau mereka adalah bangsa non Muslim, wajib hukumnya mereka masuk Islam, menjadi orang beriman dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kalau mau masuk Islam, hidup mereka akan selamat dunia-Akhirat. Kalau mereka tetap bertahan dalam kekafiran, maka tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam (Al Baqarah: 256). Kedua, kalau mereka adalah bangsa Muslim (atau mayoritas Muslim), wajib hukumnya menegakkan Syariat Islam dalam kehidupannya. Jika mereka menegakkan Syariat Islam, hidupnya akan diliputi barakah, kedamaian, keadilan, serta kemuliaan; dan di Akhirat, mereka akan dimuliakan dengan syurga. Kalau menolak Syariat Islam, membencinya, memusuhinya, atau enggan melaksanakannya, maka hidup mereka akan diliputi dengan segala bencana, derita, dan kehinaan. Dalam Al Qur’an, “Maka hukumilah urusan di antara mereka dengan apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Al Maa’idah: 48). Ayat ini menegaskan wajibnya berhukum dengan hukum Allah dan meninggalkan hawa nafsu manusia. Singkat kata, bagi sebuah bangsa Muslim WAJIB hukumnya menegakkan Syariat Islam. Dalam suatu hadits Nabi Saw pernah mengatakan, “Jika kalian telah berjual-beli dengan cara ‘inah (ribawi), kalian sibuk dengan ekor-ekor sapi, dan kalian lebih ridha dengan tanam-menanam, lalu kalian tinggalkan al jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan terangkat (kehinaan itu) sampai kalian kembali kepada urusan agama kalian.” (HR. Abu Dawud). Kaum Muslimin tidak akan mulia sampai mereka menjadikan urusan agama sebagai kepentingan terbesar mereka, melebihi urusan-urusan keduniaan. Dan hal itu tidak akan pernah terwujud, selain dengan menegakkan Syariat Islam secara kaaffah.


[18] Adakah kaitan antara penegakan Syariat Islam dengan keimanan suatu masyarakat?


Hukum menegakkan Syariat Islam adalah WAJIB. Jika suatu masyarakat secara sadar tidak mau menegakkan Syariat Islam, mereka bukan hanya berdosa besar, bahkan bisa batal keimanannya (alias menjadi kafir). Banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan, bahwa menegakkan hukum Allah merupakan konsekuensi keimanan, bukan hanya amal shalih belaka. Di antaranya sebagai berikut: “Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah, yaitu bagi orang-orang yang yakin?” (Al Maa’idah: 50). “Maka demi Rabb-mu, pada dasarnya mereka tidak beriman sampai menjadikan engkau (Muhammad Saw) sebagai hakim dalam perselisihan di antara mereka, kemudian kalian tidak mendapati dalam diri mereka rasa berat atas keputusanmu, lalu mereka menerima dengan sepenuhnya (keputusanmu).” (An Nisaa’: 65). “Katakanlah: ‘Taatlah kalian kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka jika kalian berpaling (dari Allah dan Rasul-Nya), maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” (Ali Imran: 32). “Maka jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah (keptusannya) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59). “Urusan menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah. Dia memerintahkan agar kalian tidak menyembah, selain hanya kepada-Nya. Yang demikian ini adalah agama yang lurus, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.” (Yusuf: 40). “Dan janganlah kalian memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan seperti itu adalah kefasikan, dan sesungguhnya syaitan membisikkan kepada teman-temannya agar membantah dirimu. Kalau kalian mentaati mereka (dalam penetapan hukum) aka kalian benar-benar menjadi orang-orang musyrik.” (Al An’aam: 121). Dan sebuah dalil yang sudah terkenal, “Dan siapa yang tidak menghukumi dengan apa yang Allah turunkan, mereka itu adalah orang-orang kafir.” (Al Maa’idah: 44). Dalam ayat-ayat ini sangat jelas bahwa kepatuhan kepada Syariat Islam itu sangat erat hubungannya dengan keimanan. Para ulama menjelaskan, bahwa penolakan terhadap Syariat Islam adalah salah satu pintu pembatal keimanan.


[19] Namun ada yang berpendapat, bahwa penetapan hukum selain Syariat Islam tidak sampai membatalkan iman. Dalilnya, ialah tafsir Ibnu Abbas Ra tentang “kufrun duna kufrin” terhadap Surat Al Maa’idah ayat 44.


Andaikan Tafsir Ibnu Abbas itu dianggap shahih, benar-benar datang darinya, maka ia tidak bisa menyingkirkan sekian banyak ayat-ayat Al Qur’an (yang bersifat muhkam) yang sangat tegas  menjelaskan bahwa penetapan hukum Allah itu merupakan konsekuensi keimanan. Ibnu Taimiyyah menjelaskan, bahwa penafsiran yang paling baik adalah ayat Al Qur’an ditafsirkan dengan ayat-ayat Al Qur’an lainnya, karena satu sama lain saling menjelaskan; setelah itu ayat Al Qur’an ditafsirkan dengan hadits-hadits Nabi Saw yang shahih; setelah itu ayat Al Qur’an ditafsirkan dengan perkataan para Shahabat Ra. Kaidah demikian sudah terkenal dalam ilmu tafsir. Contoh terbaik penerapan kaidah ini adalah Tafsir Ibnu Katsir. Disana sangat jelas beliau menerapkan kaidah Ibnu Taimiyyah tersebut. Andai perkataan Ibnu Abbas tersebut dianggap shahih, maka derajat penafsiran beliau ada di tingkat ketiga. Ibnu Abbas Ra. sendiri pernah ditanya seseorang tentang haji Tamattu’. Kata orang itu (penanya), Abu Bakar dan Umar lebih mengutamakan haji Ifrad daripada Tammatu’. Maka Ibnu Abbas menjawab, “Hampir kalian ditimpa hujan batu dari langit. Aku mengatakan, ‘Telah bersabda Rasulullah Saw’, namun kalian malah berkata, ‘Telah berkata Abu Bakar dan Umar.’” Riwayat ini sudah terkenal di kalangan ahli ilmu. Lihatlah, Ibnu Abbas sendiri marah ketika sabda Nabi Saw hendak disaingi dengan perkataan Abu Bakar dan Umar Ra. Padahal keduanya adalah Shahabat Nabi yang paling utama. Di kesempatan lain, Ibnu Mas’ud Ra. yang juga terkenal sebagai ahli tafsir. Beliau pernah masuk suatu masjid dan mendapati orang-orang di masjid itu berdzikir dengan memakai kerikil untuk menghitung jumlah dzikirnya. Beliau murka, lalu mengatakan, “Betapa cepatnya kalian terjerumus dalam kebinasaan, padahal di tengah-tengah kalian masih ada para Shahabat Nabi Saw.” Lihatlah, hanya perkara berdzikir dengan alat kerikil, namun pengingkaran Ibnu Mas’ud demikian hebatnya. Begitu pula, lihat bagaimana sikap Aisyah Ra. ketika menuntut agar para pembunuh Khalifah Utsman bin ‘Affan ditangkap dan diadili seadil-adilnya. Demi menuntut ditegakkannya hukum Islam, beliau dengan sebagian Shahabat dan kaum Muslimin mengangkat senjata, melawan Khalifah Ali Ra. Begitu pula dengan Abdullah bin Zubair Ra. Beliau mengangkat senjata melawan Yazid bin Muawiyyah ketika mereka menyimpang dari kebenaran, yaitu menyerahkan kepemimpinan Ummat kepada anaknya sendiri (tradisi kerajaan). Para ulama tidak selalu sepakat dengan cara yang ditempuh oleh Aisyah Ra. atau Abdullah bin Zubair Ra. Tetapi di balik perbuatan mereka tercermin komitmen para Shahabat Ra yang sangat kuat untuk menjaga hukum Allah dan Rasul-Nya. Hal demikian ini sebenarnya tidak samar lagi, kecuali di mata orang-orang yang “selalu ingin mencari selamat”, sambil mengklaim ini dan itu, sesuka hatinya.


[20] Berhati-hatilah agar Anda tidak terperangkap pemahamahan kaum takfiri yang suka mengkafirkan kaum Muslimin!!!


Urusan apapun, apakah takfiri, tafsiqi, taslimi, taslifi, atau apapun, selagi hal itu merupakan urusan Islam, maka kaidahnya ialah: Kembalikan kepada Kitabullah dan As Sunnah. Apa-apa yang benar menurut keduanya, adalah benar; dan yang disalahkan oleh keduanya, adalah salah. Dalam soal takfir, kita mengkafirkan apa yang dikafirkan oleh Al Qur’an dan Sunnah, dan mengakui keislaman siapa yang diakui oleh Al Qur’an dan Sunnah. Jadi dalam mengkafirkan itu hendaknya jangan karena hawa nafsu, sebab memiliki saudara Muslim yang banyak itu lebih baik daripada saudara kita berkurang karena ada yang tertimpa kekafiran. Tetapi memakai istilah-istilah seperti TAKFIRI dengan tujuan untuk mengacaukan pemahaman manusia, atau membodoh-bodohi akal manusia, adalah perbuatan rusak. Sebagian orang, ketika sudah disingkap kesalahan-kesalahannya, mereka mencari-cari pembelaan dengan metode kaum shufi. Apapun yang bisa dipakai membela diri, mereka pakai. Seperti disebut dalam ungkapan Arab, “Ibarat mengumpulkan kayu di malam hari.” Ketika itu seseorang tidak tahu apa yang dipegangnya. Bisa jadi dia memegang ular yang akan menggigit dirinya sendiri. Memang, ada kalanya sebagian pembela Syariat Islam bersikap ghuluw, sehingga mengkafirkan siapa saja yang tidak disukai oleh kelompoknya. Namun ada juga yang tetap bersikap Syar’i dan adil. Mereka bersikap karena tuntunan Syar’i, tetapi adil dalam mengimplementasikan pemahaman yang diyakininya. Dalam masalah takfir, mereka tidak ekstrem mengkafirkan seperti Khawarij, tetapi juga tidak ekstrem mendiamkan seperti Murji’ah. Mereka Ahlus Sunnah Wal Jamaah, mereka Salafiyyah, mengkafirkan atau mengislamkan, selaras dengan petunjuk Kitabullah dan Sunnah. Semoga kita termasuk di dalamnya. Amin Allahumma amin.


[21] Jika seorang Muslim telah memahami penjelasan-penjelasan ini, apa yang seharusnya dia lakukan untuk menunaikan hak-hak Syariat Islam?


Mula-mula kita harus bersyukur kepada Allah karena telah diberi karunia pemahaman yang insya Allah lurus. Banyak orang menginginkan kebenaran, tetapi tidak pernah sampai kepadanya. Ada yang terlanjur wafat sebelum menemukan kebenaran; ada yang terkungkung fanatisme, sehingga tertutup mata hatinya untuk melihat kebenaran; bahkan tidak sedikit yang tersesat dalam pemahaman-pemahaman yang salah. Alhamdulillah, Allah menolong kita memahami sebagian kebenaran agama-Nya. Kemudian, harus dipahami dengan baik, bahwa kembalinya pemahaman yang kuat terhadap Syariat Islam adalah tanda-tanda kemenangan perjuangan Islam. Kalau Anda ingin mengetahui, sejauhmana kesiapan kaum Muslimin untuk memikul peradaban Islam, maka lihatlah kesadaran mereka terhadap pentingnya penegakan Syariat Islam. Semakin lemah kesadaran itu, semakin jauh cita-cita kita terhadap momentum Kebangkitan Islam. Jadi perkara ini sungguh sangat fundamental. Selanjutnya, Anda perlu terlibat dalam usaha-usaha mendukung tegaknya Syariat Islam. Hingga keterlibatan sebatas menyediakan air minum, memfotokopi kertas, atau menyapu halaman masjid, semua itu bernilai, selama diniatkan demi tegaknya agama Allah Ta’ala. Kemudian, hendaknya kita saling kerjasama dengan sesama Muslim dalam memikul amanah yang berat ini. Demi Allah, sebagaimana agama ini adalah Al Jamaah, maka kita tidak akan diberi anugerah kejayaan Islam, selama enggan bekerjasama dengan sesama saudara Muslim. Dan terakhir, berhati-hatilah dalam memahami, bersikap, maupun beramal. Jangan sampai Anda memasuki “wilayah merah”, yaitu batas-batas kezhaliman terhadap Syariat Islam. Menyingkirkan dari segala jalan yang langsung atau tidak langsung memusuhi tegaknya agama Allah di muka bumi. Konsekuensi jalan seperti itu sangat berat, kalau mereka mengetahuinya.


Demikian risalah cukup panjang tentang “Dialektika Syariat Islam”. Semoga bermanfaat, memberi wawasan baru, dan meneguhkan keyakinan yang telah ada. Amin Allahumma amin. Mohon dimaafkan atas segala salah dan kekurangan. Yang benar datangnya dari Allah, yang salah dari diri saya sendiri.


Wallahu A’lam bisshawaab.


Bandung, 1 November 2009.


Abu Muhammad Waskito.


http://abisyakir.wordpress.com/2009/11/02/dialektika-syariat-islam/

1 komentar:

  1. Kalau berbica tentang Syariat islam tidak ada keuntungannya tetapi hanya sebuah proganda dari ajaran islam bangsa Arab, lihat aturan syariat islam di Afrika membuat mereka hidup dalam penderitaan karena islam.

    Lihat aja mengapa mereka yang beragama islam banyak melarikan diri ke Europa dan ke Australia untuk mendapatkan kehidupan yang layak keluar dari syariah islam, mengapa kok mereka tidak mau minta perlindungan dinegara Arab, malahan lari kenagar kafir...?

    Ya karena syariah islam membawa mereka dalam penderitaan hidup.
    malahan meraka yang melakukan syariat islam saling membunuh satu dengan lain, karena islam ?

    BalasHapus

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com