Minggu, 21 Oktober 2012

TUJUAN NEGARA ISLAM

Diskursus negara Islam tak boleh dijadikan barang tabu bagi seorang muslim. Adalah aneh jika ia dengan bangga menjual istilah ekonomi Islam, hukum Islam, pendidikan Islam, sekolah Islam, rumah sakit Islam, masyarakat Islam, tapi saat sampai pada istilah negara, ia malu – atau lebih tepat takut dan minder – untuk menyematkan label Islam. Ia lalu gagap untuk menyebut negara Islam.


Padahal sirah nabawiyah memberi bukti tak terbantahkan, bahwa Nabi saw mendirikan negara Islam. Saat itu Demokrasi belum lahir, komunis belum muncul, jahiliyah telah mati. Tak ada pilihan istilah lain untuk menyebut negara yang dibangun Nabi kecuali negara Islam.


Hal ini untuk membantah pandangan mayoritas umat Islam yang tak berani menerjemahkan istilah darul Islam dengan negara Islam. Biasanya diperhalus dengan ungkapan: negeri yang tegak nilai-nilai Islam di dalamnya.


Jika keengganan menyebut istilah negara Islam karena tak tahu, tugas kita memberi tahu melalui dakwah. Jika karena malu, harus dibimbing untuk bangga dengan Islam. Jika karena takut, harus dimotivasi bahwa setiap muslim pasti menghadapi ketakutan-ketakutan, tapi ketakutan itu tak boleh membuat kita mati kutu. Harus selalu bergerak untuk menghilangkan rasa takut ini.


Negara Islam bukan tujuan, tapi sarana.


Negara Islam dipandang sebagai sarana bukan tujuan. Sarana untuk mencapai maslahat-maslahat yang tidak mungkin diraih seorang muslim secara individu. Hal ini disebabkan pengabdian kepada Allah ada yang bisa terlaksana secara individu, ada yang harus dilaksanakan bersama bahkan harus dalam sistem berupa negara.


Tujuan itu bisa dirangkum dengan ungkapan: Tegaknya perintah Allah di muka bumi sesuai dengan standar yang ditetapkan Allah melalui syariat-Nya. Tujuan ini disimpulkan dari firman Allah berikut:


الذين إن مكناهم فى الأرض أقاموا الصلاة وأتوا الزكاة وأمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر ولله عاقبة الأمور


Artinya: Yaitu orang-orang yang jika Kami kuasakan mereka di muka bumi mereka  menegakkan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan yang makruf dan melarang dari yang munkar. Dan milik Allah kesudahan semua perkara. (QS Al-Hajj: 41)


Ibnu Taimiyah berkata: Semua kepemimpinan dalam Islam tujuannya adalah menegakkan yang makruf dan melarang yang munkar[0].


Secara lengkap, tujuan negara Islam adalah:


Pertama : Menegakkan Syari’at  ( إقامة الدين )


Maksudnya, menegakkan agama yang benar yaitu Islam. Tercapainya tujuan ini merupakan target paling utama negara Islam. Indikatornya, Islam tegak dan terlaksana sesuai dengan standar pelaksanaan yang dikehendaki Allah dengan ciri adanya kemurnian ketaatan, berseminya sunnah dan punahnya bid’ah.


Semua misi kenabian mengusung beban tugas ini, terutama nabi-nabi yang mendapat gelar ulul azmi. Al-Qur’an memberi gambaran tugas ini dengan sebutan iqomatuddin.


شرع لكم من الدين ما وصي به نوحا والذى أوحينا إليك وما وصينا به إبراهيم وموسى وعيسى أن أقيمو الدين ولا تتفرقو فيه …


Artinya: Allah menetapkan suatu syariat bagi kamu dari agama ini sebagaimana Allah mewasiatkannya kepada Nuh dan Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan sebagaimana Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu (sebuah perintah) tegakkanlah agama dan janganlah kamu semua berselisih di dalamnya… QS. 42/As-Syura: 13


Ada dua pekerjaan dalam iqomatuddin, yaitu:




  • Menjaga dan memelihara agama


Allah SWT telah berkenan menjaga syariat Islam dari perusakan oleh tangan-tangan kotor manusia, sebab syariat ini ditetapkan sebagai syariat yang berlaku sampai akhir zaman. Kita meyakini jaminan penjagaan ini meski ungkapan verbalnya hanya menjaga Al-Qur’an seperti yang Dia firmankan:


إن نحن نزلناالذكر وإنا له لحافظون


Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan peringatan (Al-Qur’an) dan Kami benar-benar akan menjaganya… QS Al-Hijr: 9


Sebab dengan jaminan penjagaan terhadap Al-Qur’an, berarti akan selalu ada standar nilai bagi manusia yang kokoh. Secara tidak langsung, jaminan terhadap semua pernik syariat yang mengacu kepada Al-Qur’an.


Sebagai wahyu terakhir dengan tanpa “tanggal kedaluarsa” mengharuskan Islam memiliki kitab pedoman yang orisinalitasnya terjaga, dan faktanya Allah telah melakukannya baik kaitannya dengan wahyu Al-Qur’an maupun wahyu As-Sunnah.


Bukti dari jaminan Allah terhadap Sunnah dapat kita temukan dalam rangkaian sejarah umat Islam yang panjang. Allah mentaqdirkan lahirnya para ulama hadits yang bekerja keras meneliti keabsahan suatu periwayatan tatkala muncul upaya pemalsuan hadits. Hasilnya, kita bisa nyaman mendapatkan kepastian sahihnya suatu hadits hanya dengan membuka kitab Shohih Bukhori, Shohih Muslim dan kitab-kitab hadits lain.


Bahkan cara memahami keduanya juga tak luput dari penjagaan Allah. Ketika muncul serangan persepsi dan pemikiran yang menyimpang terhadap syariat, Allah mentaqdirkan lahirnya ulama-ulama yang menjelaskan bagaimana konsep yang lurus dalam memahami Islam. Maka kita mengenal Imam Syafi’i yang merumuskan ilmu ushul fiqh, sebuah teori tentang bagaimana memahami suatu dalil dan mengaplikasikannya dalam kasus-kasus yang berkembang. Kita juga mengenal Imam Ahmad bin Hanbal, yang dengan gigih mempertahankan ungkapan Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluq-Nya. Ada ulama yang membongkar kedok filsafat. Ada yang mengkritisi tasauf. Ada yang membantah jalan pikiran Murji’ah. Dan sebagainya.


Artinya, alat untuk memelihara agama ini telah tersedia. Hanya masalahnya, alat-alat itu teronggok sebagai warisan ilmiah dan dokumen sejarah di perpustakaan. Kita akan gagap memelihara agama ini jika tak membongkar warisan para pendahulu kita. Sebab pada dasarnya perkembangan zaman hanya melahirkan kemasan baru bagi suatu masalah di masa lalu dengan isi yang sama. Yang berbeda hanya tampilan luarnya, atau istilah yang disematkan kepadanya. Seperti kasus Islam Liberal sejatinya adalah paham Mu’tazilah yang diberi merek dengan cita rasa Inggris, sebab istilah Inggris bisa “menyihir” dan punya daya jual yang baik.


Dengan demikian, makna memelihara agama dalam konteks kekinian kita lebih kepada pemeliharaan aqidah dan pemahaman umat agar tetap lurus seperti para Sahabat dahulu memahami Islam. Hal ini disebabkan tidak semua orang punya kesempatan membaca apalagi memahami – misalnya – konsep Imam Syafi’i tentang ushul fiqh. Berarti, peluang umat untuk memahami Islam dengan cara yang menyimpang sangat terbuka lebar. Ini berbeda dengan kemungkinan adanya pemalsuan tulisan Al-Qur’an. Kemungkinan itu tetap masih ada, namun kadar keberhasilannya relatif kecil insya’allah.


Pekerjaan yang lain adalah upaya mewujudkan konsep Islam yang sempurna ini dalam realitas yang juga sempurna. Islam bukan agama teori dan wacana tanpa akar realitas yang menghunjam bumi, tapi agama teori sekaligus realitas. Padahal Rasulullah saw mewariskan Islam kepada kita dalam keadaan sempurna secara konsep dan sempurna secara realitas.


Untuk memberi gambaran lebih rinci, aktifitas memelihara agama (hifdhu d-din) yang menjadi tugas negara Islam meliputi pekerjaan-pekerjaan berikut:




  • Menyebarkan dan mendakwahkan Islam dengan pena, lidah dan pedang.


Dakwah merupakan pekerjaan pertama yang dilakukan para nabi sebelum pekerjaan yang lain. Hal ini disebabkan dakwah mengambil sasaran perbaikan tashawwur (pemahaman) terhadap syariat Allah dari berbagai noda jahiliyah. Utamanya pemurnian tauhid dari buih syirik. Lalu memberi bimbingan bagi masyarakat dalam melaksanakan agamanya secara praktek (amal). Dengan demikian, dakwah mencakup perbaikan ilmu dan amal.


Dakwah merupakan sarana, bukan tujuan. Sarana untuk menyiarkan dan menyebarkan Islam ke seluruh muka bumi. Dahulu dakwah lebih banyak dilakukan dengan lisan. Tapi kini dakwah berkembang dengan menggunakan berbagai media. Ada yang menggunakan lisan, pena, media elektronik dan lain-lain.


Hukum melakukan dakwah adalah fardhu kifayah. Yaitu suatu kewajiban yang menjadi beban semua umat Islam yang tergolong mukallaf (terkena beban hukum), tapi jika sudah ada salah satu pihak yang melaksanakannya sesuai tuntunan syari’at dan tuntutan realitas, maka kewajiban itu gugur bagi yang lain. Kepentingan dari suatu perintah yang disebut fardhu kifayah adalah wujud pelaksanaannya, bukan siapa yang melaksanakan. Siapanya tidak penting, yang penting terlaksana dengan standar syariat dan tuntutan realitas.


Allah berfirman:


ولتكن منكم أمة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون


Artinya: Dan hendaklah ada satu golongan dari kamu yang melakukan dakwah kepada kebaikan (kebenaran), memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari yang munkar. Dan mereka itulah orang yang beruntung. (QS. 3/Ali Imran: 104)


Selain dakwah dengan lisan dan pena, ada aktifitas lain yang bertujuan menyebarkan Islam yaitu dakwah dengan pedang. Kata pedang biasa digunakan untuk kiasan makna kekuatan fisik dan senjata. Kedengarannya aneh, tapi Islam tidak tabu disebarkan dengan pedang, hanya ungkapan kalimatnya yang harus akurat yaitu Islam disebarkan dengan pedang setelah diawali dengan pendekatan lisan atau pena.


Ketika penjelasan secara lisan tentang Islam tidak membuahkan hasil, maka seorang muslim tidak menjadi bebas dari tugas menyebarkan Islam, apalagi ia seorang amirul mukminin. Tapi ia harus beralih menggunakan alat dakwah lain yaitu pedang. Gambarannya sama dengan seorang montir. Jika ia tidak berhasil melepas baut dengan hentakan tangan, ia menggunakan palu untuk memaksanya berputar. Jika tak mempan juga, maka digunakan gergaji atau las untuk mencopotnya secara paksa.


Adalah naif jika Islam disebut sebagai agama sempurna tapi tak punya cara untuk menyelesaikan masalah orang yang menolak dakwah secara lisan. Oleh sebab itu, ketika mengepung dan mengancam musuh, Rasulullah saw memberi tiga pilihan; masuk Islam, membayar jizyah (pajak) ketundukan, atau diperangi. Jika musuh memilih masuk Islam, maka urusan langsung selesai dan mereka menjadi satu umat yang sama. Jika memilih pajak ketundukan, maka Islam memberi jaminan keamanan sebagai imbalan pajak yang mereka bayarkan, disamping ijin untuk tetap melaksanakan agamanya. Jika menolak dua pilihan tersebut, Rasulullah saw memerangi mereka dengan pedang sampai bertekuk-lutut dan putus asa.


Tiga pilihan yang diajukan Rasulullah saw tersebut dapat kita simpulkan bahwa ancaman peperangan menjadi salah satu rangkaian diplomasi dakwah. Atau dengan ungkapan lain, ancaman perang yang diletakkan pada pilihan ketiga itu memaksa musuh untuk mengambil pilihan pertama atau pilihan kedua. Pedang digunakan untuk “menodong” orang agar mau memeluk Islam atau membayar pajak ketundukan tapi tetap boleh melaksanakan agamanya.


Ungkapan bahwa Islam memaksa orang untuk memeluk Islam, tidak betul. Sebab masih ada pilihan lain, membayar pajak ketundukan dengan tetap menggunakan identitas agamanya.


Dakwah bukan hanya mengajarkan dan memahamkan suatu materi keislaman dengan senyum yang terus mengembang. Tapi juga mengancam dengan kekerasan jika tawaran masuk Islam (dakwah baik-baik) menemui jalan buntu. Ini bukan ajaran yang aneh. Sesuatu yang wajar, selaras dengan sunnatullah atau hukum alam Allah.


As-Subki  berkata: Diantara tugas sulthon (imam/penguasa/negara Islam) membentuk pasukan bersenjata dan menegakkan kewajiban jihad untuk mengangkat panji Allah. Sebab Allah tidak memberinya kekuasaan atas umat Islam untuk menjadi bos yang hanya makan, minum dan istirihat, tapi untuk membela agama ini dan meninggikannya. Diantara tanggung-jawabnya, tidak boleh membiarkan orang-orang kafir dengan leluasa mengumbar kekafirannya dan tidak mau beriman kepada Allah dan rasul-Nya[1].


Daulah Islamiyah dengan dipimpin seorang imam berkewajiban menyiapkan berbagai cara dalam ragka menyebarkan agama Allah. Bagi yang belum tahu, diberitahu. Bagi yang masih keliru memahami Islam, diluruskan. Bagi yang menentang dakwah, diberi ancaman perang atau dipaksa tunduk kepada kekuasaan Islam agar tangannya tidak usil mengganggu.


Dengan tersedianya berbagai alat dan cara untuk menyebarkan agama ini, setiap orang punya kesempatan melihat dan mempertimbangkan Islam dengan jernih, lalu memilihnya dengan sepenuh kesadaran. Sebab jika niatnya masuk Islam hanya untuk mencari keselamatan, itu bukan pilihan tunggal. Ia masih bisa mendapatkan keselematan dan keamanan asal mau membayar pajak ketundukan.


Dengan demikian Islam tetap memiliki harga diri di hadapan para penentangnya, dengan adanya kemampuan mengancam untuk memerangi. Tapi ketegasan ini tidak sampai jatuh pada pemaksaan untuk masuk Islam, karena masih memberi toleransi bagi yang masih tetap ingin mempertahankan keyakinannya, dengan memberinya jaminan keamanan asalkan bersedia membayar bukti ketundukan. Dalam bingkai seperti ini ayat la ikroha fiddin… (QS. 2/Al-Baqarah: 256) dan wa qotiluhum hatta la takuna fitnah… (QS. 2/Al-Baqarah:193 & 8/Al-anfal:39) serta hadits umirtu an uqotilannasa hatta yashadu an la ilaha illallah…. dapat kita pahami.




  • Membasmi syubhat (pemikiran rusak), bid’ah dan segala bentuk kebatilan


Negara Islam harus mengambil fungsi membasmi syubuhat pemikiran, bid’ah dan segala wacana dan praktek kebatilan lain. Sebab seorang amirul mukminin memiliki kewenangan luas untuk melakukan nahi munkar di tengah masyarakat. Amirul mukminin paling bertanggung-jawab terhadap masalah ini karena ia didukung setidaknya oleh dua barisan; ulama dan prajurit. Tidak ada orang lain yang memiliki kekuatan sebesar itu.


Syubuhat pemikiran menjadi tugas ulama untuk mengoreksinya hingga tuntas agar masyarakat tidak terkotori pikirannya dengan paham-paham sesat. Hal ini disebabkan kemunkaran yang bersumber dari akal pikiran hanya bisa dibongkar oleh ulama. Demikian juga dengan bid’ah dan takhayul. Yang dibutuhkan dari penguasa (negara Islam) adalah dukungan kekuaatannya, agar ulama bisa melaksanakan perannya tersebut dengan maksimal.


Adapun kebatilan dan kemunkaran yang nyata dan dikenali oleh masyarakat awam, negara Islam bertugas mengarahkan dan mendorong mereka untuk membasminya, dengan cara menegakkan supremasi hukum.


Jika penyakit masyarakat tidak bisa tuntas oleh keberadaan amirul mukminin, negara Islam dipandang gagal menjalankan fungsinya. Lalu bagaimana dengan kekuatan yang tidak terstruktur dalam lembaga negara, tentu lebih tidak mungkin menuntaskan masalah.


Abu Ya’la berkata: Amirul mukminin bertanggung-jawab memelihara Islam agar tetap dalam landasan yang disepakati para pendahulu (salaf sholih). Jika ada pemikiran rusak mencoba membelokkan, ia membantahnya dengan argumen yang kokoh dan menjelaskan dengan versi yang benar. Dilanjutkan dengan memberi sanksi sesuai aturan yang berlaku, agar Islam terpelihara dari rongrongan pemikiran menyimpang dan umat Islam tejaga dari kesesatan[2].


Cara yang bisa ditempuh amirul mukminin dalam melaksanakan misi ini, diantaranya dengan pengajaran melalui lembaga pendidikan, mengadakan perdebatan terbuka agar kebenaran menjadi nyata, memberi sanksi berupa pengusiran atau pemboikotan, dan – bahkan – menggunakan pilihan pembunuhan atau peperangan sebagaimana Ali bin Abi Thalib ra memerangi kaum Khawarij. Tentu seorang amirul mukminin lebih mengerti aturan main penggunaan cara-cara ini, sesuai dengan kasus dan kebutuhan lapangan.




  • Menjaga keutuhan umat dan mengawal perbatasan dari serangan musuh.


Kepala negara (Islam) bertanggung jawab mewujudkan rasa aman bagi masyarakat agar bisa bebas melaksanakan semua aktifitas ibadah dan memakmurkan dunia. Rasa aman bisa diraih jika gangguan internal dan eksternal negara bisa diatasi. Oleh sebab itu, negara harus memiliki kekuatan yang tangguh. Dan merupakan pengaturan Ilahi yang Maha Sempurna, Islam memberi solusi terhadap kebutuhan ini dengan syari’at yang bernama ribath dan jihad fi sabilillah. Suatu kombinasi sempurna; mendapatkan imbalan secara akhirat berupa syurga, sekaligus menjadi alat yang logis untuk menjaga negara Islam dari rongrongan musuh.


Ribath artinya menjaga perbatasan secara geografis agar bisa menghalau musuh dan mencium gelagat gangguan eksternal lebih dini. Ribath bersifat pasif, seperti pekerjaan satpam yang hanya menjaga. Meski demikian, Rasulullah saw memberi motivasi dan penghargaan yang tinggi terhadap aktifitas ini, dalam sabdanya:


رباط يوم فى سبيل الله خير من الدنيا وما عليها


Artinya: Ribath fi sabilillah satu hari adalah lebih baik dari dunia seisinya[3].


Jihad fi sabilillah artinya berperang melawan musuh Allah dan musuh umat Islam. Jihad bisa bermakna ofensif bisa pula defensif, tergantung kebutuhan. Rasulullah saw pernah melakukannya, baik bermakna defensif maupun ofensif.


Jika kepala negara (Islam) dengan kekuasaan di tangannya tidak melaksanakan ribath dan jihad, ia gagal menjalankan fungsinya. Dalam waktu yang tidak lama musuh-musuh Islam akan berebut “menyantap hidangan” umat Islam karena tidak ada penjaganya, seperti yang kita alami saat ini. Tapi karena kita tidak memiliki kepala negara (Islam) yang syar’i yang berfungsi melaksanakan peran ini, maka beban kesalahan ditanggung oleh semua umat Islam.


Sebagai pasangan mendakwahkan Islam, tugas negara Islam yang lain adalah melaksanakannya. Maksudnya, memastikan Islam terlaksana di wilayah kedaulatannya.


Kedua : Melaksanakan Islam


Aspek lain yang menjadi tanggung jawab imam adalah menjamin terlaksananya semua syariat Islam di wilayahnya secara merdeka dan total.


Merdeka berarti bebas dari campur tangan pihak luar.


Kemerdekaan menjalankan syariat dapat diraih dengan maksimalnya pencapaian aspek pertama. Indikatornya, musuh Allah dan musuh umat Islam dalam kondisi putus asa untuk mengganggu urusan rumah tangga umat[4]. Imam punya kedaulatan penuh untuk mengawal pelaksanaan syariat tanpa perlu mempertimbangkan keberatan dari negara lain. Berbeda dengan realitas kita, ketika ada salah satu negara yang berniat melaksanakan hukum rajam, media internasional ribut mempersoalkannya. Karena negara tersebut tidak punya kedaulatan dan kemerdekaan penuh, keputusan itu ditinjau ulang.


Total berarti syariat terlaksana secara lengkap dari a sampai z.


Totalitas melaksanakan syariat kemudian sekedar menjadi problema internal umat Islam, ketika syarat kemerdekaan terpenuhi. Dalam ungkapan lebih sederhana, peluang telah tersedia, tinggal itikad baik dari penguasa yang jadi masalah. Bila ia mau, syariat berjalan sempurna. Jika tidak, modal kemerdekaan menjadi tak bermakna. Untuk menjamin totalitas, setidaknya diperlukan dua pekerjaan:




  • Menegakkan syariat, hukum pidana dan hukum-hukum lain.


Menegakkan syariat merupakan cara yang paling baik menjaga agama ini. Sama halnya untuk memelihara jalan, yang paling baik dengan cara sering melewatinya. Demikian juga doktrin sepak bola dan tinju; pertahanan terbaik adalah menyerang.


Keutuhan agama ini terjamin jika diaplikasikan oleh masyarakat. Bentuknya sederhana, semua perintah dilaksanakan dan semua kemunkaran dibasmi. Dan sesuatu yang berkaitan dengan memerintah dan membasmi, paling efektif jika ditangani oleh pemerintah.


Negara berkewajiban membentuk baitul mal untuk mengelola urusan keuangan umat seperti zakat, ghonimah, shodaqoh, hibah, wakaf dan lain-lain. Negara juga berkewajiban membentuk lembaga peradilan agar masyarakat mendapat kepastian hukum dan keadilan bisa ditegakkan. Dengan lembaga ini pencuri bisa dipotong tangannya, yang berzina bisa dijilid, yang menzalimi bisa diqishas dan seterusnya.


Ibnu Taimiyah berkata: Para ulil amri (imam) bertanggung-jawab melaksanakan hudud (hukum pidana syariah) yaitu dengan cara memberi sanksi baik terhadap orang yang meninggalkan kewajiban maupun yang melaksanakan larangan[5].


Perlu diketahui sanksi dalam Islam ada dua macam.


Pertama, sanksi definitif yang disebut hudud, seperti pidana pencurian sanksi definitifnya adalah dipotong tangannya, tidak bisa diganti dengan bentuk lain sesuai kebijakan.


Kedua, sanksi non-definitif. Sanksi jenis ini deserahkan kepada kebijakan hakim dengan mempertimbangkan kadar kesalahan dan kondisi pelaku.




  • Membawa umat pada pelaksanaan Islam dengan motivasi dan ancaman.


Selain menyediakan sarana untuk melaksanakan syariat dengan lengkap, masih diperlukan aspek lain yaitu motivasi atau ancaman. Manusia memiliki keragaman sifat dan pendekatan. Ada yang dengan motivasi saja sudah cukup meluruskan amalnya. Ada juga yang harus menggunakan paksaan dan ancaman.


Inti masalah pada pelaksanaan syariat di tengah masyarakat. Caranya dengan memberi motivasi, tapi jika tidak bisa digunakan ancaman. Rasulullah saw bersabda:


لا، حتى تأخذوا على يد الظالم فتأطروه على الحق أطراً


Artinya: …hingga kamu merebut tangan si zalim lalu kamu paksa ia melakukan kebenaran dengan suatu paksaan yang nyata[6].






[0] Majmu’ Fatawa 28/262


[1]As-Subki, mu’idun ni’am wa mubidu niqom hal. 16


[2] Abu Ya’la, al-ahkam as-sulthaniyah, hal. 27


[3] HR Bukhori (fathul bari 6/85), Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad.


[4] Lihat QS 5:3 yang artinya: …hari ini orang-orang kafir putus asa untuk mengganggu agama kamu…..


[5] Ibnu Taimiyah, al-hisbah, hal. 55


[6] HR Ibnu Majah, Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad dengan status lemah karena munqothi’.






sumber : [elhakimi.wordpress.com]

2 komentar:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com