Minggu, 21 Oktober 2012

Hubungan Syariat dengan Politik Tata Negara

Islam menganut prinsip kesatuan antara perkara agama dengan perkara dunia. Artinya, keduanya harus berjalan seiring karena keduanya berasal dari Pencipta yang sama. Agama Islam dirumuskan oleh Allah, urusan dunia juga tak lepas dari taqdir Allah. Bila agama menggunakan peraturan Allah, dan urusan dunia menggunakan pikiran manusia, niscaya keduanya tidak bertemu. Ada dualisme kepentingan. Masalahnya, kepentingan manusia identik dengan analisis yang dangkal, terpengaruh dengan situasi yang berkembang, emosi bahkan hawa nafsu. Sementara kepentingan Allah dibingkai dengan sifat-sifat Maha Sempurna; adil, bijaksana, lengkap, tidak memberatkan manusia, berlaku lintas masa, lintas generasi, lintas suku dan ras, dan sempurna mencakup seluruh persoalan hidup manusia.


Sekularisme tidak diakui dalam Islam. Sekularisme sama dengan membodohkan Allah dalam hal mengatur dunia – na’udzu billah min dzalik – dan menganggap Islam tidak lengkap karena hanya bisa mengatur urusan akhirat. Aqidah sekularisme sama kafirnya dengan aqidah komunisme, demokrasi, hindu, budha, kristen, yahudi dan aqidah kafir lain.


Rasulullah saw – sebagai sosok ideal dalam menerjemahkan teori Islam di alam nyata – menjadi orang pertama yang mencontohkan konsep kesatuan antara agama dan dunia. Rasulullah saw menjadi kepala negara sekaligus seorang nabi. Perpaduan dua puncak jabatan pada jalur masing-masing. Karir tertinggi jalur dunia adalah menjadi kepala negara atau presiden. Sementara maqom tertinggi jalur syariat adalah jabatan sebagai nabi atau rasul. Semua jabatan syariat seperti ulama, mufti, mujahid, qodhi, kyai dan sebagainya berada di bawah jabatan nabi.


Fakta ini memberi isyarat bahwa Islam bisa berpadu dengan dunia. Atau dengan paradigma iman; Islam harus ditampilkan menyatu dengan pengaturan dunia. Jika realitas belum menampakkan fakta seperti itu, wajib diperjuangkan agar menyatu, seperti yang ditampilkan oleh Rasulullah saw semasa hidupnya.


Maka jawaban singkat untuk pertanyaan, bagaimana Islam mengatur hubungan antara syariat dengan politik negara, adalah keduanya harus melebur dalam satu manajemen dan kepemimpinan. Mahkamah untuk mengadili perkara syariat juga mahkamah untuk mengadili perkara dunia. Rujukan hukum perkara syariat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan rujukan yang sama harus dipakai untuk urusan dunia. Peraturan aurat ketika melaksanakan syariat, juga peraturan aurat ketika bekerja di bank, perkantoran dan ketika olah raga. Tidak boleh ada ada istilah pengadilan agama, dan pengadilan negeri. Tidak boleh ada aturan busana ketika shalat (mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah), tapi ada aturan lain ketika bermain volley atau senam (mengacu kepada kesepakatan tidak resmi secara internasional). Apakah ada ketentuan baku bahwa wanita bermain volley hanya boleh memakai celana dalam dan kaos ketat?


Keharusan untuk menyelenggarakan politik negara dengan syariat merupakan fakta sejarah pada zaman nabi dan para khalifah sesudahnya yang tak bisa dibantah. Yang perlu kita kaji lebih lanjut adalah bagaimana jika politik negara tidak diatur dengan syariat, seperti kasus kita saat ini? Apa hukumnya? Bagaimana kita – sebagai rakyat – menempatkan diri? Kewajiban kita apa? Solusinya bagaimana? Dan seterusnya.


Dalil yang mengharuskan penyatuan syariat dengan politik negara diantaranya:


ألم تر إلى الذين يزعمون أنهم أمنوا بما أنزل إليك وما أنزل من قبلك يريدون أن يتحاكموا إلى الطاغوت وقد أمروا أن يكفروا به ويريد الشيطان أن يضلهم ضلالاً بعيداً


Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan sejauh-jauhnya. – QS 4/An-Nisa: 60


Ayat ini membantah klaim keimanan seseorang jika masih berhakim dengan thaghut. Sebab hati seorang mukmin tidak bisa mendua; beriman kepada kitab Allah sekaligus berhakim kepada thaghut. Kalau berhakim kepada thaghut, berarti keimanannya kepada kitabullah batal. Sebaliknya, jika ia beriman kepada kitabullah, pasti tidak mau berhakim kepada thaghut. Tidak ada partisi di hati orang beriman.


Thaghut berasal dari kata tughyan, melampau batas kewenangan. Seorang mukmin dilarang untuk memutuskan hukum – ketika dalam posisi sebagai hakim – dengan hukum thaghut karena batas kewenangannya hanya boleh menggunakan hukum Allah. Ia juga dilarang mencari penyelesaian hukum – ketika dalam posisi terbelit kasus hukum – kepada hukum thaghut, sebab batas kewenangannya hanya boleh mencari penyelesaian hukum dengan hukum Allah.


فلا وربك لا يؤمنون حتى يحكموك فيما شجر بينهم ثم لا يجدوا فى أنفسهم حرجا مما قضيت ويسلموا تسليما


Artinya: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya. – QS 4/An-nisa: 65


Ayat ini juga memberi syarat agar klaim keimanan seseorang diakui Allah. Syarat-syarat itu adalah:




  1. Menjadikan Rasulullah saw sebagai pemberi keputusan hukum ketika terjadi konflik antar elemen masyarakat, baik individu dengan individu maupun kelompok dengan kelompok. Tidak berpaling kepada selain Rasulullah saw.

  2. Tidak ada keberatan sedikitpun dalam hati ketika keputusan telah dikeluarkan. Keputusan bisa memenangkan kita, bisa pula mengalahkan kita. Terhadap kedua kemungkinan itu, ia lapang dada sebab Rasulullah saw dalam memutuskan perkara dibimbing wahyu.

  3. Kepasrahan dan nrimo terhadap keputusan hukum meski merugikan. Seperti pasrahnya nabi Ismail menerima keputusan harus disembelih oleh ayahnya, Ibrahim as. Atau seperti kepasrahan jenazah di tangan orang yang memandikannya dan merawatnya. Diam pasrah total tak bergerak sedikitpun, apalagi protes. Menggerakkan ujung jarinya dengan sekali gerakan saja bisa menggegerkan prosesi, apalagi bangkit dan melawan orang yang memandikan dan merawatnya.


Negara Tidak Menggunakan Syariat Sebagai Hukum Positif


Polemik hangat yang hingga kini masih ramai diperdebatkan adalah tentang ayat :


ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون


Artinya: Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang kafir – QS. 5/Al-Maidah: 44


Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah – semasa hidupnya menjadi anggota majlis fatwa Saudi Arabia – berkata:


Adalah tidak logis Allah menamakan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah sebagai kafir tapi sejatinya ia tidak kafir. Tapi yang benar, si pelaku jatuh sebagai kafir secara mutlaq (sebutan umum), baik kafir secara amal atau kafir secara aqidah[1].


Perbedaannya, kafir secara aqidah menyebabkan pelakunya dianggap keluar dari Islam. Sementara kafir secara amal, pelakunya hanya dianggap maksiyat atau fasiq, oleh karenanya tidak dipandang keluar dari Islam.


Kekafiran secara aqidah meliputi beberapa bentuk:




  1. Pelaku bersikeras menolak keabsahan hukum Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada perbedaan pendapat akan kafirnya orang ini.

  2. Tidak menolak keabsahan hukum Allah dan Rasul-Nya, tapi meyakini bahwa hukum non-syariat lebih baik, lebih lengkap dan lebih sempurna.

  3. Tidak menganggap hukum non-syariat lebih baik, tapi sekedar menganggap sama baiknya dengan hukum syariat. Ketiga bentuk ini pelakunya menjadi kafir dan keluar dari Islam.

  4. Tidak menganggap hukum non-syariat sama atau lebih baik dibanding hukum syariat, tapi sekedar menganggap boleh memutuskan hukum yang berbeda dengan hukum syariat. Hukumnya sama dengan tiga bentuk di atas, sebab ia menyakini bolehnya sesuatu yang secara nyata haram, yaitu berhukum dengan sesuatu yang berbeda dengan hukum Allah.

  5. Yang paling berbahaya dari bentuk-bentuk sebelumnya, berhukum dengan kompilasi hukum racikan dari berbagai sumber hukum seperti hukum Perancis, Belanda, Amerika, Inggris, Islam, Yahudi, Nasrani, muatan hukum lokal, tradisi dan sebagainya. Semuanya diramu menjadi satu, dengan nama baru. Tidak ada pembatal syahadat yang lebih berbahaya dibanding hal ini, sebab memberi kesan lebih bisa menampung berbagai unsur kepentingan yang ada di tengah masyarakat dibanding hukum syariat yang ruang lingkupnya terkesan hanya untuk kalangan rakyat muslim. Bahkan banyak umat Islam yang meyakini hukum ramuan seperti ini lebih baik, lebih lengkap, lebih sempurna dan – yang lebih berbahaya – lebih fleksibel dibanding hukum syariat. Hukum syariat cenderung tegas dan kaku, sementara hukum ramuan bisa luwes disesuaikan kebutuhan, anggapnya.

  6. Berhukum dengan acuan mitos dan tradisi suatu masyarakat yang sudah berakar kuat turun temurun. Tindakan ini sama dengan membenci dan menolak hukum syariat. Oleh karenanya pelakunya tergolong kafir secara aqidah, sama dengan bentuk-bentuk sebelumnya.


Adapun bentuk kedua, kufur amali (kafir secara amal, bukan aqidah). Kafir jenis ini tidak menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Atau dalam istilah Ibnu Abbas ra:          ( كفر دون كفر ) Kafir yang tidak sampai kafir.


Kekafiran jenis ini terjadi jika seseorang memutuskan hukum pada sebagian kasus dengan keputusan yang berbeda dengan yang semestinya sesuai syariat, dengan kriteria sebagai berikut:




  1. Negara menganut sistem hukum tunggal berupa hukum syariat yang menjadi acuan semua paktek peradilan yang ada.

  2. Dalam mengeluarkan vonis yang tidak sesuai dengan syariat tersebut, pelaku melakukannya karena dorongan syahwat atau hawa nafsu.

  3. Pelaku tetap meyakini bahwa yang benar adalah versi yang semestinya menurut syariat.

  4. Pelaku menyadari dengan sepenuh kesadaran bahwa ia sedang melakukan maksiyat kepada Allah.


Misalnya, seorang hakim mendapati putranya mencuri yang jumlahnya sudah mencapai nishab untuk dipotong tangannya. Karena dorongan kasih sayang, ia membuat vonis yang lebih ringan dari yang semestinya menurut syariat, misalnya dengan cambukan. Ketika mengeluarkan vonis ini, ia sadar ia melakukan maksiyat kepada Allah, tapi ia juga tak kuasa menolak bisikan hati kecilnya untuk meringankan hukuman anaknya sendiri karena dorongan kasih sayang.


Orang semacam ini statusnya kafir secara amal atau fasiq atau maksiyat. Bukan kafir yang menyebabkannya keluar dari Islam. Tapi yang harus dicatat, hukum acuan yang berlaku secara resmi di negara yang bersangkutan haruslah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika tidak, kemungkinan paling logis tetap kafir secara aqidah.


Suatu negara yang menganut hukum non-syariat, sudah pasti para hakim ketika mendaftarkan diri sebagai hakim, ia tahu bahwa ia bakal terikat dengan hukum non-syariat ketika membuat vonis. Ia tak bisa lari dari fakta ini. Oleh karena itu, kemungkinan ia merasa salah ketika mengeluarkan vonis yang tidak sesuai dengan syariat menjadi hilang. Jika ia merasa salah, tentu ia tak mendaftarkan diri dengan pertimbangan pasti ia bakal terikat dengan hukum non-syariat.


Dengan demikian, duduknya ia di majlis pengadilan sebagai hakim pasti karena ridho terhadap mekanisme hukum non-syariat. Ia juga mengharapkan gaji darinya. Ia menjunjung tinggi nilai-nilainya. Dan ia bertanggung-jawab menegakkan supremasinya. Maka, tertutup peluang ia termasuk dalam golongan kufrun duna kufrin. Yang paling logis, para hakim yang bersangkutan terkena kafir secara aqidah, yang berarti telah keluar dari Islam[2].


Pihak-Pihak yang Terbelit Problematika ini.


Banyak pihak yang terbelit kekafiran jenis ini. Tentu orang yang masih sehat imannya ingin membentengi diri dari kemungkinan terjerumus ke dalamnya. Dan benteng yang paling depan adalah memahami masalah ini dengan baik, dengan menjunjung tinggi semangat ilmiah dan keteguhan pendirian, tidak terbelenggu oleh rasa takut atau pertimbangan duniawi-manusiawi lain.


Pihak-pihak tersebut adalah:




  1. Mutasyarri’ ( المتشرع ). Yaitu orang-orang yang merumuskan konstitusi non-syariat. Biasanya mereka disebut anggota legislatif. Mereka ketika bermusyawarah merumuskan konstitusi, jelas dengan pandangan (mind-set) bahwa ia tidak sedang menyimpulkan hukum fiqh yang harus mengacu kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tapi dengan mind-set bahwa ia mencari mufakat rumusan apa yang paling sesuai dengan tuntutan realitas yang berkembang, dengan mengacu kepada sumber apapun yang penting baik. Sehingga penilaian akal menjadi kunci utama. Jika solusi yang mengacu kepada syariat dinilai oleh akal mereka tidak cocok untuk realitas yang ada, maka syariat ditinggalkan. Jadi, meskipun produk hukum mereka sama dengan salah satu hukum syariat, pada hakekatnya bukan dilandasi ketundukan kepada syariat, tapi salah satu hukum syariat tersebut kebetulan sesuai dengan pertimbangan akal mereka. Sebab, hukum Belanda pun akan diambil jika kebetulan sesuai dengan pertimbangan akal mereka. Supremasi bukan pada syariatnya, tapi pada akalnya. Akal berperan sebagai penyaring dan penyeleksi. Syariat menjadi obyek yang diseleksi. Bukankah sama artinya merampas kewenangan Allah? Adakah kedurhakaan yang lebih besar darinya? Masih bangga menjadi anggota legislatif?

  2. Mudafi’ (المدافع). Yaitu pihak yang membela hukum non-syariat dan mengawal pelaksanaannya. Jika ia membelanya dengan persepsi bahwa hukum non-syariat absah untuk dipraktekkan maka statusnya sama dengan perumus di atas. Tapi jika membelanya dengan persepsi bahwa yang benar tetap hukum syariat maka ia munafiq, meski berdalih bahwa pembelaannya itu hanya karena tugas atau profesi.

  3. Hakim. Yaitu pihak yang melaksanakan hukum non-syariat dalam praktek peradilan. Alasan darurat tidak bisa diterima dalam kasus ini, sebab tidak ada paksaan dari siapapun untuk menjadi hakim. Ia kuliah di fakultas hukum kafir (mestinya bergelar SHK, karena alumni fakultas syariah bergelar SHI) dengan sukarela. Ia mengirimkan lamaran menjadi hakim juga sukarela. Dan ia menikmati pekerjaannya dan – terutama – gajinya, baik yang resmi maupun melalui cara siluman.

  4. Rakyat yang tidak bisa lari dari jerat hukum non-syariat. Tentu tidak semua rakyat terbelit masalah ini, tapi yang ridha (sukarela) dan patuh saja. Hal ini sesuai dengan konsep Nabi saw ketika melihat kemunkaran, bahwa benteng terakhir yang harus ada dan tak bisa ditawar adalah kebencian atau penolakan dalam hati. Rakyat harus meletakkan hukum non-syariat sebagai pilihan terakhir, ketika cara-cara menyelesaikan masalah yang sesuai syariat sudah buntu. Inipun semata karena hegemoninya, bukan karena ia lebih hebat. Tidak boleh meletakkannya pada pilihan pertama. Dan ketika menerima vonis yang mengacu kepada hukum non-syariat, ia harus membenci dalam hati terhadap vonis tersebut, meski lebih ringan dibanding hukum syariat. Misalnya saat ia mencuri dalam jumlah melebihi nishab, lalu hakim memberinya vonis kurungan setahun, maka ia harus membenci materi vonis tersebut karena tidak mengacu kepada syariat, meski secara manusiawi lebih menguntungkan. Ini memang sulit, tapi tidak ada pilihan lain. Rakyat muslim yang hidup di tengah negara dengan sistem hukum non-syariat, hatinya seperti telur di ujung tanduk. Terpeleset sedikit saja karena tergoda untuk ridha dan patuh maka benteng keimanannya telah jebol. Naudzu billah min dzalik.


Ciri Negara Islam


Salah satu indikator suatu negara digolongkan negara Islam atau negara kafir dari sistem hukum yang dijadikan acuan resmi. Untuk memahami masalah dengan lebih baik, berikut ini tiga kemungkinan sistem hukum yang digunakan suatu negara, dengan menilik pada paradigma dasar yang melandasinya:




  1. Paradigma “hukum non-syariat adalah sumber dari segala sumber hukum negara”. Paradigma ini nyata kekafirannya, seperti matahari di siang bolong. Tidak ada basa-basinya sama sekali. Sebuah penentangan yang terang-terangan terhadap hukum syariat. Negara yang menganut paradigma hukum seperti ini, digolongkan negara kafir, meski rakyatnya mayoritas muslim. Perlu diperhatikan, penyebutan suatu negara sebagai negara kafir tidak bermakna rakyatnya menjadi kafir. Seperti halnya Rasulullah saw ketika masih hidup di Makkah, tidak menjadi kafir karena tinggal di wilayah kafir.

  2. Paradigma “syariat adalah sumber utama hukum negara”. Paradigma ini setingkat lebih baik dibanding paradigma pertama, karena ada basa-basinya. Kekafirannya terlihat samar-samar, tapi justru itu lebih membius dan menina-bobokan. Paradigma ini belum benar karena hanya menyebut syariat sebagai sumber utama. Artinya, sumber lain masih diberi pintu untuk masuk, meski tidak sebesar syariat. Paradigma ini merupakan pencapaian tertinggi upaya menegakkan Islam dengan media Demokrasi, karena memuaskan semua pihak. Tampak Islami, tapi juga tetap demokratis karena masih memberi ruang bagi hukum non-syariat. Orang bilang, win-win solution. Tapi bagi Allah, penolakan halus untuk tunduk mutlak terhadap ketentuan syariat-Nya. Banyak negara Timur Tengah menggunakan paradigma hukum seperti ini, karena mayoritas masyarakatnya muslim. Iblis memang berpengalaman panjang menipu manusia. Tapi anehnya, banyak yang tidak sadar menjadi korbannya, hingga kini.

  3. Paradigma “syariat adalah satu-satunya sumber hukum negara”. Negara yang menggunakan paradigma ini telah memiliki salah satu ciri negara Islam. Paradigma yang selaras dengan paradigma tauhid. Pencapaian ini tidak mungkin diraih melalui perjuangan dengan media Demokrasi, tapi cara lain sesuai syariat-Nya. Orang kafir pasti marah dengan pencapaian ini, karena pintu kepentingan mereka tertutup rapat. Maka mereka akan memaksakan agar kepentingannya masuk dengan cara kekerasan. Tapi, apapun resikonya pencapaian ini sudah menjadi harga mati yang harus diperjuangkan, cepat atau lambat, pihak kafir rela atau keberatan – yang penting Allah tidak keberatan (baca: meridhainya). Walau karihal musyrikun, walau karihal kafirun, walau karihal munafiqun (meski orang-orang musyrik keberatan, walau orang-orang kafir enggan, kendati orang-orang munafiq sakit hati). Allah tempat meminta pertolongan !


Ada di mana Anda? Berada di anak tangga berapa dari idealisme yang dicanangkan? Atau masa bodoh dengan idealisme?






[1]Lihat Muhammad bin Ibrahim, tahkimul qowanin, hal. 5


[2] Lihat Muhammad bin Ibrahim, tahkimul qowanin, hal. 5-8






sumber : [elhakimi.wordpress.com]

5 komentar:

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.comnya.com tipscantiknya.com