"Please brother Ismail, don’t consider me as kafir.”
Ini adalah penggalan protes dari seorang profesor setelah membaca
reportase saya di Majalah al-Wa’ie mengenai Simposium Internasional
bertema, “Islamic Law in Modern Indonesia” yang diselenggarakan oleh
Harvard University, AS, beberapa tahun lalu.
Profesor ini, untuk baiknya tidak usah saya sebut namanya, sebenarnya
orangnya sangat unik. Sebagian kawan malah menyebut “islami” karena
penampilannya memang seperti seorang Muslim. Jenggotnya panjang.
Kumisnya dicukur habis. Bahasa Arabnya sangat fasih. Maklum, dia doktor
lulusan Yaman. Setiap saat dari mulutnya keluar lafal-lafal islami.
Bila hendak makan, ia ucapkan ‘bismillah’. Selesai makan,
‘alhamdulillah’. Kalau berjanji, dia ikuti dengan perkataan, ‘insya
Allah’.
Dalam banyak kesempatan, ia terlihat sedang membaca kitab
kuning. Ia juga cukup fasih menjelaskan masalah fikih, bahkan kadang
lebih fasih daripada Muslim. Padahal ia adalah seorang Katolik tulen.
“Kalau bukan kafir, Anda ingin disebut apa,” tanya saya.
“Non-Muslim,” jawab dia singkat.
++++
Mengapa orang, termasuk non-Muslim sekalipun, alergi dengan istilah
kafir, dan cenderung untuk menghindar menyebut istilah itu? Menjelang
Pilkada DKI, salah satu calon terkuat adalah Ahok sebagai petahana. Dia
notabene non-Muslim. Namun, banyak pihak menghindari menyebut dia dengan
pemimpin kafir. Mungkin hanya HTI saja yang sejak dari awal tanpa ragu
menyebut istilah ini sebagaimana dalam pernyataan resminya terkait
Pilkada DKI berjudul, “Haram Memilih Pemimpin Kafir”. Banyak pihak yang
meminta HTI tidak menyebut istilah ini. Namun, HTI tetap dengan
pendiriannya. Mengapa?
PERTAMA: Mungkin saja secara politik
penyebutan istilah kafir tidaklah strategis karena bakal disebut
melanggar ketentuan SARA. Namun, secara teologis–ideologis, penyebutan
itu lebih dekat pada hakikat masalah.
Maksudnya, alasan utama
penolakan terhadap kepemimpinan Ahok adalah memang karena dia kafir.
Sebagaimana disebut dalam QS an-Nisa’ ayat 141, jelas haram mengangkat
orang kafir menjadi pemimpin di negeri Muslim.
Meski dalam redaksi
berita, ayat ini mengandung celaan. Maknanya adalah larangan, yakni
larangan untuk memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum
Muslim.
Kekuasaan atau kepemimpinan merupakan jalan terbesar untuk
bisa menguasai kaum Muslimin. Lafal “lan” menunjukkan larang ini
bersifat tegas. Artinya, haram bagi umat Islam menyerahkan kekuasaan
kepada orang kafir. Jadi, meski umpamanya Ahok tidak korup, bertindak
santun atau berkinerja bagus, sepanjang masih kafir, tetap saja harus
ditolak.
KEDUA: Penyebutan istilah kafir ini lebih dekat pada
hakikat dakwah. Inti dakwah adalah seruan ke jalan Islam. Islam telah
dengan tegas, sebagaimana dijelaskan di atas, mengharamkan pemimpin
kafir. Istilah kafir adalah istilah al-Quran. Allah SWT dalam QS
an-Nisa’ ayat 141 tadi menyebut istilah kafir: Wa lan yaj’ala AlLâhu li
al-kâfirîn. Bila Allah menyebut istilah kafir, sekaligus mengharamkan
orang kafir menjadi pemimpin kaum Muslim, mengapa kita enggan
mengabarkan ketentuan ini?
Ingat, salah satu makna berpegang teguh
pada al-Quran adalah dengan menjadikan istilah-istilah dalam al-Quran
dalam kita menilai dan memandang suatu masalah.
Ambil contoh, dalam
masalah LGBT. Bila berpegang teguh pada al-Quran, kita pasti dengan
mudah mendudukkan status perbuatan itu, dan tidak akan bingung seperti
yang terjadi pada sebagian kelompok masyarakat yang menilai fenomena
LGBT sebagai refleksi kebebasan dan sebagainya. Merujuk pada ayat 28 QS
al-Ankabut, perbuatan seperti yang dilakukan oleh kaum Nabi Luth
(sodomi) itu disebut dengan istilah fâkhisyah. Fâkhisyah itu tidak bisa
diartikan lain kecuali keburukan. Imam Ibnu Katsir mengartikan fâkhisyah
sebagai ‘amal al-khâbitsah (perbuatan yang amat keji).
Jadi,
menyampaikan istilah-istilah dalam al-Quran—seperti fâkhisah, Mukmin,
munafik, jihad, amar makruf nahi mungkar, kafir dan sebagainya—sangatlah
penting karena istilah itu mengandung pemikiran atau pemahaman
tertentu.
Menyampaikan istilah yang ada dalam al-Quran berarti
kita menyampaikan gagasan atau pemahaman tertentu dalam al-Quran.
Sebaliknya, mengingkari istilah dalam al-Quran sama artinya kita
menghindar dari pengertian yang dikandungnya. Sikap seperti ini tentu
tidak sesuai dengan spirit dakwah itu sendiri.
KETIGA:
Penyebutan istilah kafir ini lebih dekat pada hakikat solusi atau
penyelesaian masalah. Kita tahu, orang kafir bisa terpilih menjadi
pemimpin politik di negeri yang penduduknya mayoritas Muslim ini karena
ada partai yang mencalonkan.
Kemudian calon itu dipilih oleh rakyat dalam Pemilu.
Partai itu bisa mencalonkan orang kafir oleh karena menurut peraturan
perundangan yang ada memang hal itu dibolehkan. Jadi, andai tidak ada
partai yang mencalonkan, dan andai dicalonkan tapi tidak dipilih oleh
rakyat, tentu orang kafir tidak akan bisa terpilih menjadi pemimpin.
Apalagi bila dibuat aturan yang melarang, tentu tidak akan mungkin
orang kafir bakal menjadi pemimpin di negeri mayoritas Muslim ini.
Oleh karena itu, penting untuk terus mengedukasi publik, berdasarkan
prinsip ajaran Islam, untuk tidak memilih pemimpin kafir; juga mendorong
para pemimpin partai politik, utamanya parpol Islam atau berbasis massa
Islam, untuk tidak mencalonkan pemimpin kafir. Pengalaman Pilkada Kota
Solo dan DKI Jakarta, ketika itu orang kafir dicalonkan sebagai wakil
walikota dan wakil gubernur, yang kemudian sekarang naik menjadi
walikota dan gubernur, harus menjadi pelajaran penting, bahwa hal ini
tidak boleh terulang.
Lebih jauh lagi, kita harus mendorong
pembuatan aturan yang melarang orang kafir menjadi pemimpin politik di
negeri mayoritas Muslim ini.
Apakah ini mungkin dilakukan? Mengapa
tidak. Ketentuan mengenai syarat-syarat pemimpin merupakan bagian dari
sistem politik. Bila mayoritas kekuatan politik yang ada menyepakati,
ketentuan seperti ini pasti bisa dibuat. Apalagi bila perjuangan
tegaknya syariah berhasil dilakukan, sudah pasti ketentuan seperti itu
akan otomatis berjalan.
++++
Terakhir, penting untuk
ditegaskan, penyebutan istilah kafir, termasuk penolakan kita terhadap
pemimpin kafir, tidaklah berarti kita akan menistakan atau menzalimi
mereka. Ini dilakukan semata karena menurut Islam siapa saja yang bukan
Muslim memang disebut kafir, dan karena kekafiran itu maka haram menjadi
pemimpin.
Meski begitu, hak-hak mereka sebagai umat non-Muslim tetap harus terjaga.
Darah, harta dan kehormatan mereka harus tetap dilindungi. Dengan
demikian keadilan, kesejahteraan, kedamaian dan ketenteraman tetap akan
melingkupi kehidupan mereka.
Inilah hakekat Islam rahmatan lil alamin.
0 komentar:
Posting Komentar