Tiga dekade yang lalu, seorang tokoh nasional yang sekarang sudah wafat, pernah melontarkan satu pertanyaan menggelitik, "Kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?"
Pertanyaan ini sepintas tidak problematik, tetapi jika dibaca
pelan-pelan dengan kecermatan yang tajam, maka termuat dua paradigma
yang bertolak belakang.
Lalu menurutnya, jawaban yang benar
adalah jawaban yang dibangun dengan paradigma, bahwa kita adalah "orang
Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam". Menurutnya paradigma ini
memandang Islam bukan Arab, melainkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran
universal, seperti: kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, kerahmatan,
kesetaraan, dan persaudaraan yang dilandasi wahyu ketuhanan dan tauhid.
Sampai di sini, alasan yang disampaikan masih bisa diterima.
Namun
kemudian, dia melanjutkan bahwa untuk menjadi Muslim, seseorang tidak
harus menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang Arab, mulai
dari cara berbicara yang kearab-araban, berjenggot, menggunakan jilbab,
dan lain sebagainya. Muslim yang berpeci khas Jawa, bersarung, sementara
bagi wanita menggunakan kerudung hanya untuk menutup rambut dan
lehernya dibiarkan terbuka, menggunakan pakaian jarik, lalu masih
menggunakan kemenyan dan dupa dalam sebagian aktivitasnya, serta senang
berziyarah kubur, merupakan Muslim asli Indonesia.
Lebih dari
itu, lalu dia menarik simpati dari banyak orang dengan mengatakan, bahwa
Islam asli Indonesia adalah Islam yang damai, toleran dan menghargai
nilai-nilai kemanusiaan. Sementara itu, islam yang “bukan Indonesia”,
menurutnya, cenderung tidak cintai damai, suka kekerasan, suka perang,
mengijinkan aksi terorisme, dan lain-lain. Dengan pernyataan yang tampak
memukau ini, dia berhasil mendapatkan pengikut dan simpati dari
kalangan pemuda pada waktu, yang sekarang sudah menjadi tua. Bahkan,
sampai sekarang tokoh ini masih mengikuti banyak pengagum yang “siap
mati” untuk membelanya.
Bagaimana sebenarnya mendudukkan masalah
ini secara proporsional? Mana yang benar: "Kita ini sebetulnya orang
Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang
(kebetulan) beragama Islam?"
***
Dalam memberi
jawaban terhadap permasalahan dan pertanyaan apapun, hal itu tergantung
pemahaman seseoarang. Bagi seseorang yang memahami Islam lebih penting
dari Indonesia, maka ia akan menjawab bahwa: “ia adalah orang Islam yang
(kebetulan) hidup di Indonesia”, tetapi bagi seseorang yang menganggap
Indonesia lebih penting daripada Islam, maka ia
akan menjawab bahwa: “ia
adalah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam”.
Selain
aspek “mana yang lebih penting”, dalam memberi jawaban pada pertanyaan
di atas juga ditentukan dari “definisi” tentang Islam dan Indonesia yang
dipahami olehnya. Ada yang memahami Islam hanya sekedar budaya, ada
yang memahami Islam hanyalah sekedar agama seperti Hindu atau Buda, ada
yang memahami Islam adalah ideologi, dan ada yang memahami bahwa Islam
adalah jalan hidup (diin atau way of life) yang diturunkan oleh pencipta
alam semesta ini. Sementara tentang Indonesia, ada yang memahami
sebagai sebuah bangsa, ada yang memahami sebagai negeri, ada yang
memahami sebagai negara, ada yang memahami sebagai budaya, dan lain
sebagainya. Pemahaman tentang definisi yang beragam tentang Islam dan
Indonesia inilah akhirnya membuat seseorang berbeda dalam memberikan
jawaban.
Di sini, saya tidak akan membahasa panjang lebar
tentang definisi Islam dan Indonesia. Tentang definisi Indonesia saya
sudah membahasa pada tulisan yang lain. Namun demikian untuk memberikan
jawaban atas pertanyaan tersebut kita memang perlu definisi tentang
Islam dan Indonesia. Di sini Islam didefinisikan sebagai diin (jalan
hidup atau way of life) yang diturunkan Allah kepada RasulNya untuk
mengatur hubungan manusia dengan tuhannya, dirinya sendiri dan orang
lain. Sementara Indonesia didefinisikan sebagai bangsa dan negeri
(tempat), bukan sebagai negara. Bangsa adalah masyarakat dengan
kesamaan asal-usul dan nenek moyang. Negeri adalah nama suatu tempat
atau wilayah masyarakat hidup di dunia ini.
Dengan pemahaman ini, saat ditanyakan: "Kita
ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah
orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?" maka kita akan dengan
mudah memberi jawaban.
Jika melibatkan perasaan dan
pengalaman yang beragam, jawabannya memang bisa beragam. Jawaban dari
pertanyaan ini sangat subyektif. Namun, sebenarnya pertanyaan ini dapat
dijawab dengan lebih obyektif, jika pertanyaan sedikit dimodifikasi: “Kita lahir di Indonesia itu kebetulan (takdir) atau pilihan? Dan kita memeluk Islam itu kebetulan atau pilihan?”.
Pertanyaan
pertama: “Kita lahir di Indonesia itu kebetulan (takdir) atau pilihan?”
Jawaban dari pertanyaan ini sangat jelas, bahwa kita lahir di Indonesia
adalah takdir (kebetulan), bukan suatu pilihan. Bagi orang yang
mengidolakan barat, seandainya disuruh milih, pasti dia ingin dilahirkan
di amerika atau inggris dan diberi nama Michael atau George, namun apa
daya, ia lahir di indonesia dan diberi nama Siti Musdah atau Paijo, dan
lain-lain. Jadi, kita lahir di Indonesia dan menjadi bagian dari
bangsa Indonesia adalah suatu yang kebetulan atau takdir, bukan suatu
pilihan.
Sementara untuk hidup di Indonesia atau selain
Indonesia, ini memang pilihan. Bisa saja kita pindah ke amerika,
inggris, irak, mesir atau yang lain. Meski demikian kita tetap dianggap
memiliki kewarga-negaraan Indonesia.
Pertanyaan kedua: “Kita memeluk Islam itu kebetulan atau pilihan?”. Saya tidak tahu pendapat orang lain, namun bagi saya sangat jelas, meskipun
saya ditakdirkan lahir di keluarga Muslim (dan saya sangat bersyukur),
namun Islam itu adalah pilihan saya. Kalau saya mau, saya bisa memilih
agama apapun di dunia ini selain Islam. Menurut saya, Islam
adalah agama yang diridloi Allah, yang akan mengantarkan orang yang
konsisten di dalamnya untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Saya dulu dan sekarang memilih Islam dan semoga ke depan Allah membuat
hati saya istiqomah di dalam Islam. Jadi, Islam itu bukan kebetulan,
tetapi pilihan.
Dengan demikian, lahir di Indonesia itu “kebetulan”, hidup di Indonesia itu “pilihan”, dan beragama Islam adalah “pilihan”.
Karena
itu jika ditanyakan: "Kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan)
hidup di Indonesia ataukah orang yang hidup Indonesia yang (kebetulan)
beragama Islam?". Maka jawabannya tidak ada. Sebab “hidup di Indonesia”
dan “beragama Islam”, itu sama-sama pilihan, sama-sama bukan kebetulan.
Ini salah pertanyaan. Wah, saat saya sekolah, kalau dapat soal seperti
ini senang sekali, karena dapat soal bonus.
Sementara jika
pertanyaannya diubah sedikit: "Kita ini sebetulnya orang Islam yang
(kebetulan) lahir di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan)
beragama Islam?", maka kita dapat memberikan jawaban yang lebih
obyektif, yaitu "Kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) lahir
di Indonesia.
*
Kita beragama Islam itu pilihan.
Karena Islam itu pilihan, maka saat orang memutuskan ber-Islam, maka
kita harus konsekuen dengan Islam yang jadi pilihan kita, termasuk
konsekuensi pelaksanaan syariah Islam, baik dalam kehidupan pribadi,
keluarga, masyarakat atau negara.
Dan, ternyata Islam itu
memang indah dan sangat komprehensif. Islam mengatur manusia dalam semua
aspek kehidupannya, agar manusia hidup dalam kebahagiaan. Islam tidak
pernah mengekang manusia, tetapi Islam mengatur manusia agar pemenuhan
semua kebutuhan dan nalurinya berjalan dengan baik dan memuaskan semua
pihak.
Hal ini sangat wajar, karena Islam datang dari Dzat
Pencipta alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia. Ini berbeda
dengan agama dan ideologi lain yang merupakan produk akal manusia yang
serba terbatas. Aturannya tidak komprehensif, kontradiktif dan
bertentangan satu dengan yang lain.
Karena itu Islam
memang diturunkan Allah sebagai rahmat bagi seluru alam, termasuk bagi
bangsa Indonesai, dan tentu saja kepada bangsa-bangsa lain yang ada di
dunia ini. Allah berfirman:
ÙˆَÙ…َا Ø£َرْسَÙ„ْÙ†َاكَ Ø¥ِÙ„َّا رَØْÙ…َØ©ً Ù„ِّÙ„ْعَالَÙ…ِينَ
“Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan agar menjadi rahmat bagi alam semesta” (QS. Al Anbiya’ 107)
Apakah
islam bertentangan dengan adat dan budaya masyarakat, termasuk bangsa
Indonesia? Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam memiliki hukum-hukum
yang komprehensif yang mengatur seluruh aspek kehidupa. Dalam islam,
aturan itu diklasifikasi menjadi 5 (ahkam al khomsah), yaitu wajib,
sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Jika kita cermati bahwa
adat (kebiasaan) dan budaya termasuk perbuatan manusia (af’al alinsan),
karena itu adat dan budaya juga masuk dalam hukum yang lima itu. Hal itu
harus dirinci satu persatu. Tidak bisa dipukul rata.
Bagaimana
hukum menghormati orang lain (katanya saling menghormati adalah adat
orang Indonesia)? Hukum menghormati orang lain dalam Islam adalah wajib.
Bagaimana
hukum membantu orang yang baru kesulitan atau yang baru memiliki hajat
(katanya saling membantu adalah adat dan budaya orang Indonesia)? Hukum
membantu orang lain dalam islam adalah sunnah. Hal ini sangat dianjurkan
dalam Islam.
Bagaimana hukum menutup aurat dengan
menggunakan sarung bagi lelaki (Katanya sarung adalah pakaian khas
Indonesia)? Jawabnya adalah mubah. Menutup aurat itu hukumnya wajib,
sedangkan pilihan apakah sarung atau celana, ini mubah. Boleh pakai
celana, boleh pakai sarung, boleh pakai yang lain, yang penting menutup
aurat.
Bagaimana hukum menggunakan kerudung bagi wanita,
yang hanya menutup rambut, sementara leher dibiarkan terbuka (Katanya
kerudung seperti ini adalah khas Indonesia)? Jawabnya adalah haram.
Sebab kerudung seperti itu tidak menutup aurat dengan sempurna.
Jadi,
menilai suatu kebiasan, adat atau budaya, apakah sesuai dengan Islam
atau tidak, harus dinilai satu persatu. Tidak bisa dipukul rata.
*
Terkadang
kita ini sok jagoan, lalu menilai sesuatu secara sembarangan. Kita
sering mengatakan bahwa jilbab itu sekedar budaya arab. Padahal jilbab
itu adalah bagian dari syariah Allah. Allah berfirman: Hai Nabi,
katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang Mukmin, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka.” (QS al-Ahzab [33]: 59)
Ada yang mengatakan bahwa
sholawat al barzanji itu khas Indonesia. Padahal alBarzanji itu bukan
nama orang Indonesia. Kitab Barzanji adalah buah karya Syekh Jafar Al
Barzanji bin Husin bin Abdul Karim (1690-1766 M), seorang qadli (hakim)
dari Mazhab Maliki yang bermukim di Madinah. Judul asli kitab tersebut,
‘Iqd al-Jawahir (untaian permata). Jadi, al Barzanji sebetulnya adalah
nama seorang ulama yang menulis kitab. Dan tentu saja beliau bukan orang
Indonesia.
Kita sering menganggap bahwa ziarah kubur itu adat
dan kebiasaan khas Indonesia. Padahal ziarah kubur itu kebiasaan Umat
Islam lain di luar Indonesia. Memang ada perbedaan pendapat terkait
hukum ziarah kubur ini. Namun pendapat yang rajih, hukum asal ziarah
kubur adalah mubah. ”Sesungguhnya aku pernah melarang kalian untuk
menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” Hadits ini
dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/65 dan 6/82). Menurut kaidah syara’,
adanya perintah setelah larangan menunjukkan bahwa hukum perbuatan itu
mubah.
*
Jadi, kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) lahir di Indonesia dan saat ini kita mungkin tinggal di Indonesia.
Islam
adalah pilihan kita, sementara kita lahir di Indonesia hanyalah
kebetulan. Karena itu sebenarnya kita, orang Islam yang lahir dan
tinggal di Indonesia sama dengan orang Islam di manapun di dunia
ini. Orang Islam yang ada di mesir, irak, suriah, iran, arab saudi,
jepang, malaysia, filipina dan lain-lain, mereka semua adalah saudara
kita. Mereka semua sama dengan kita. Allah berfirman: “Orang-orang
beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah
hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya
kamu mendapat rahmat.” (Al Hujuraat 10).
Semua masalah
yang dihadapi mereka juga masalah kita. Kita tidak boleh bercerai berai.
Kita tidak boleh disekat-sekat hanya karena sesuatu yang jelas. Kulit
kita bisa jadi berbeda, bahasa kita bisa jadi berbeda, status sosial
kita bisa jadi berbeda, bangsa kita bisa jadi berbeda, kekayaan kita
bisa jadi berbeda, tetapi kita adalah umat satu, yaitu umat Islam. Kita
tidak boleh berpecah-belah.
Rasulullah saw. bersabda:
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang
dan saling cinta adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu anggotanya
merasa sakit, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit
tidur dan demam. (HR. Muslim. Shahih Muslim No.4685).
Rasulullah
saw. juga bersabda: Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah
seperti sebuah bangunan di mana bagiannya saling menguatkan bagian yang
lain. (HR. Muslim. Shahih Muslim No.4684).
Sehingga siapa
saja, yang merasa berbeda karena merasa “Islam Indonesia”, sebaiknya
tidak usah mengharap syafaat dari Rasulullah, sebab Rasulullah bukan
“Islam Indonesia”, tetapi “Islam” saja, tidak menggunakan embel-embel
tambahan.
Wallahu a’lam.
Ustad Choirul Anam
Rabu, 08 Juli 2015
Home »
Islam Kebetulan
» Kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?
0 komentar:
Posting Komentar