Lalu menurutnya, jawaban yang benar adalah jawaban yang dibangun dengan paradigma, bahwa kita adalah "orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam". Menurutnya paradigma ini memandang Islam bukan Arab, melainkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran universal, seperti: kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, kerahmatan, kesetaraan, dan persaudaraan yang dilandasi wahyu ketuhanan dan tauhid. Sampai di sini, alasan yang disampaikan masih bisa diterima.
Namun kemudian, dia melanjutkan bahwa untuk menjadi Muslim, seseorang tidak harus menggunakan identitas Arab atau melebur seperti orang Arab, mulai dari cara berbicara yang kearab-araban, berjenggot, menggunakan jilbab, dan lain sebagainya. Muslim yang berpeci khas Jawa, bersarung, sementara bagi wanita menggunakan kerudung hanya untuk menutup rambut dan lehernya dibiarkan terbuka, menggunakan pakaian jarik, lalu masih menggunakan kemenyan dan dupa dalam sebagian aktivitasnya, serta senang berziyarah kubur, merupakan Muslim asli Indonesia.
Lebih dari itu, lalu dia menarik simpati dari banyak orang dengan mengatakan, bahwa Islam asli Indonesia adalah Islam yang damai, toleran dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Sementara itu, islam yang “bukan Indonesia”, menurutnya, cenderung tidak cintai damai, suka kekerasan, suka perang, mengijinkan aksi terorisme, dan lain-lain. Dengan pernyataan yang tampak memukau ini, dia berhasil mendapatkan pengikut dan simpati dari kalangan pemuda pada waktu, yang sekarang sudah menjadi tua. Bahkan, sampai sekarang tokoh ini masih mengikuti banyak pengagum yang “siap mati” untuk membelanya.
Bagaimana sebenarnya mendudukkan masalah ini secara proporsional? Mana yang benar: "Kita ini sebetulnya orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia ataukah orang Indonesia yang (kebetulan) beragama Islam?"
***
Dalam memberi jawaban terhadap permasalahan dan pertanyaan apapun, hal itu tergantung pemahaman seseoarang. Bagi seseorang yang memahami Islam lebih penting dari Indonesia, maka ia akan menjawab bahwa: “ia adalah orang Islam yang (kebetulan) hidup di Indonesia”, tetapi bagi seseorang yang menganggap Indonesia lebih penting daripada Islam, maka ia